TITIAN KASIH
Aku
pernah berjalan di atas laut, tak ada karang tak ada batu. Karena aku telah
berada di alam yang membuatku benar-benar merasa ringan seperti angin, melayang
tanpa beban. Sesekali aku menjelma menjadi air agar bisa singgah di mana-mana, tak
peduli tempat itu luas maupun sempit, tak peduli tempat itu bersih maupun kotor
dan tak peduli tempat-tempat itu menerimaku atau tidak. Aku tak merasa hina,
karena ia yang menyandingku, bukan aku yang menyandingnya. Aku hanya mengikuti
sinyal-sinyal dan jejak-jejak yang ia tinggalkan di sekelilingku. Seperti
magnet, mungkin istilah itu yang tepat.
Aku menggandengnya, ia
menggandengku. Aku memandangnya, ia memandangku. Aku mencintainya, ia
mencintaiku. Mungkin aku tak bisa membaca benar hal yang merajai hatinya,
ataukah benar diriku ataukah yang lain, aku tak perlu tau. Tapi hati ini terus
mendorong untuk mengetahui dan memahami rahasia-rahasia yang tersirat dalam
dirinya. Memaksa untuk menyatu dengannya padahal ada unsur lain yang masih
mengharapkannya, terutama hatinya. Entahlah, yang penting aku telah membalas
cintanya. Terkadang aku ragu, ketika bersama denganku sesekali ia menoleh ke
belakang dan tersenyum mengingatnya. Namun yang terus aku lakukan adalah
mencoba menghilangkan keraguan-keraguan itu dari benakku, tapi tetap saja
keraguan itu suka muncul menengadahkan tangan mengajakku meluapkan emosi pada
diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa meyakinkannya?. Padahal aku telah memenuhi
segala harapnya, meninggalkan memori yang pernah aku simpan. Kekasih macam apa
aku ini?. Meneteskan butir-butir mutiara suci?. TIDAKKK!!... Bukan itu yang ku
harapkan. Aku hanya ingin ia melupakan yang harus dilupakan, dan tak melupakan
apa yang sebaiknya tak dilupakan. Professional?. Iya, itu tujuanku. Aku ingin
kita setara, sebanding, serasa, senada, serasi, senasib dan sejalan. Saling
mencintai dengan prosentase yang sama, karena ia yang menjadi tonggak hidupku,
karena aku dia adalah kita.