Social Icons

Pages

Tuesday, 14 March 2017

Siapa Manusia?



SIAPA MANUSIA?
Hasil gambar untuk tanda tanya
“Siapa manusia?
Bukan istilah, kedudukan atau hakikat
Lalu, siapakah manusia?
Akankah ada yang mampu menjawab?
Seseorang, sesehewan, sesetumbuhan atau makhluk lainnya
Siapakah manusia itu?”
Pertanyaan itu selalu terkuak dalam bentala bawah sadarku
Aku, seorang, diri, manusia
Kata-kata itu seperti tunggal
Sama-sama tak ku ketahui siapa
Aku ku, aku mu, aku nya
Seorang ku, seorang mu, seorang nya
Diri ku, diri mu, diri nya
Manusia ku, manusia mu, manusia nya
Bagaimana kata yang sama itu menjadi berbeda?
Hingga tanah terbanjiri oleh darah
Lalu siapakah manusia itu?

En Azura
Semarang, 15 Januari 2017
BIODATA PENULIS

Nafi’ Inayana Zaharo, mahasiswi Pendidikan Kimia kelahiran 24 Juli 1996 ini menggeluti dunia sastra sejak ia di bangku SMA. Ia lahir di kota berslogan Pati Bumi Mina Tani tepatnya di desa Pesagi kecamatan Kayen kabupaten Pati. Beberapa karyanya seperti puisi, cerpen, artikel dan berita ia terbitkan di beberapa media sosial dan beberapa di antaranya diikutkan dalam event-event lomba penulisan. Iin sapaan akrabnya, belajar lebih dalam mengenai sastra di Teater Mimbar UIN Walisongo Semarang. Beberapa karya puisinya pernah diterbitkan dalam antologi puisi Teater Mimbar tahun 2015 dan tahun 2016, selain itu juga ada satu puisi yang diterbitkan dalam buku “Puisi Nusantara”. Pada tahun 2017 ini ia menerbitkan sebuah antologi pribadi berjudul "Dua Desember". Contact Person yang dapat dihubungi melalui 083873290663 dan e-mail nafiinayanazaharo@gmail.com.

Sebuah Kado- Sepenggal Kisah dalam Dua Desember



Kau, Ozien. Adalah nama yang ku sembunyikan. Kini bukan lagi Ozien, namamu telah kembali. Kau tetap menjadi Ulinnuha.
Oh tidak… Rupanya ini hanyalah sebuah mimpi.

Dari luar sana terdengar sayup ketukan pintu, diiringi suara yang memanggil-manggil namaku. “Oh, suamiku”. Kataku dalam setengah sadar. Seketika itu aku langsung turun dari ranjang tempatku meluruskan tubuh, kala itu pagi masih temaram. Langkahku terhenti di belakang pintu. Kunci yang menempel di selembar kayu itu ku putar dua kali, lalu ku tarik ke dalam. Mata-mata ini sebenarnya belum rela membuka lebar kelopaknya, masih remang-remang. Aku bersandar di kusen tempat melekatkan pintu kayu. Lalu, “emmuuuacch”, bibirnya menempel di bibirku yang masih kering sebab cepatnya metabolisme tubuh. Terasa benar kasih sayang yang ada dalam ciuman itu. Setelah lepas, tiba-tiba aku terbangun.
“Oh my God”. Aku tersentak. Jantung ini masih berdetak kencang, sementara aku netralkan dulu napas yang tersendat.
“Ya Tuhan, ternyata hanya mimpi. Mengapa kasih sayang itu ku rasa begitu nyata?, apakah aku yang terlalu mencintai dia?, ataukah ini sebuah firasat baik atau buruk untuk kita?”. Ucapku dalam pagi yang benar-benar nyata, bukan lagi mimpi.
Sebelum itu, aku mencintai seseorang, ku panggil ia Shahdan. Kita pernah saling menyambung rasa empat tahun lalu. Tiada dusta di antara kita. Tapi prinsip yang berbeda memisahkan kita, hingga ia menemukan pengganti yang jauh lebih baik dari diriku. Selama itu, aku belum bisa menghapus namanya dari kalbu ini, hingga aku menemukan seseorang yang sedikit bisa mengobati luka menganga dalam kalbu ini. Namun hanya sekejap saja, ia malah menggoreskan luka lebih dalam. Aku seakan mati rasa, terkadang berfikir untuk tidak ingin merasakan segumpal rasa merah hati itu. Ya, di tengah pengorbananku untuk melupakan Shahdan, Ozien datang. Aku pun tak begitu mengerti mengapa aku bisa terbawa arus olehnya. Semenjak itu, rasaku ke Shahdan semakin terkikis. Padahal rasaku padanya begitu besar, tidak mudah tergoyah. Apakah Ozien lebih baik daripadanya?, sehingga dapat meluluhkan hatiku yang telah membatu oleh sihir Shahdan.
Ozien hanyalah bayang semu di antara sinar rembulan di malam hari. Saat gelap mencekat ia tak terlihat, saat terang benderang ia semakin jelas. Entahlah, mungkin esok yang kan menjawabnya dan aku masih menunggu pagi. Memang sulit, mencintai dua orang dengan prosentase yang sama. Apalagi keduanya kasih tak sampai. Bagai tertumbuk biduk dibelokkan ke batu karang, tidak bisa memilih keduanya.
Kau, Ozien. Adalah nama yang ku sembunyikan. Kini bukan lagi Ozien, namamu telah kembali. Kau tetap menjadi Ulinnuha. ***
Semarang, 25 Oktober 2015
 
Blogger Templates