skip to main |
skip to sidebar
DEBUR OMBAK
DEBUR OMBAK
“Ma, apa benar aku akan menjadi santriwati di
sini?”, ujar Naya pada ibunya ketika ia
pertama kali melihat papan yang bertuliskan ‘Pondok Pesantren Putri Ma’had
Walisongo’ terpampang lebar dan jelas di depannya. Ia tak percaya bahwa ia akan
hidup dalam penjara suci yang sebelumnya tidak pernah dialaminya. Sebenarnya
bukan suatu masalah besar bagi Naya jika ia tinggal di penjara suci itu, karena
ia pernah tiga tahun hidup pisah dari keluarganya, ia tinggal di kost yang juga
mempunyai aturan namun tak melebihi aturan dalam penjara suci.
Senja yang memikat, mematahkan kelelahan
sepasang kaki yang melangkah mencari kehangatan, mata sayu yang pernah menahan
lelah, dan ini adalah waktunya. Tak seperti pondok pesantren lain, yang boleh
mendaftar tanpa ada seleksi penerimaan. Ini yang membuatnya terkagum oleh
penjara suci itu, pondok pesantren modern berbasis salaf. Tak semua mahasiswa
dapat di terima di sini. Ma’had Walisongo adalah asrama bagi mahasiswa baru
IAIN Walisongo. Ilmu agama dan pengetahuan umum yang notabene ditempuh dalam
jangka waktu empat tahun, dalam tempo hanya satu tahun dapat diselesaikan di
sini. Memang banyak peraturan, namun Naya bertekad “Aku bisa!!!”.
“Bismillaahirrahmaanirrahim, ku awali
hari-hariku dengan mengucap basmalah”. Naya bersiap-siap untuk berangkat menuju
medan perang, menyiapkan senjata untuk melawan kebodohan. Pagi itu, pagi yang
menggetarkan hatinya. Tes seleksi masuk pondok pesantren, ‘ilmu agama dan dua
bahasa asing, bahasa Arab dan bahasa Inggris’. Semuanya memang terserah Tuhan,
tapi Tuhan mendahulukan jawaban bagi permintaan jiwa yang berupaya.
“Ris, sampai jam segini belum ada pengumuman,
dan besok harus sudah menetap di sini jika di terima. Tapi aku belum membawa
barang-barangku, kawan. Bagaimana?”. Tanya Naya pada Riris, temannya.
“Aku nggak tau Nay, aku sih sudah menyiapkan
payung sebelum hujan. (Tertawa kecil). Kamu sih nggak sekalian dibawa aja tadi.
Kan kita nggak capek kalau dah disiapin.”. Jawab Riris.
“Mana aku tau Ris?, kalau tidak ada waktu
tenggang sama sekali seperti ini. Aku kira diberi tempo beberapa hari untuk
mengambil keputusan dan persiapan menetap.”. Ujar Naya.
Tak selang waktu begitu lama, hasil
penyeleksian santriwati baru pun ditempel di dinding pengumuman. Butuh waktu
lama mencari satu nama diantara tiga ratus daftar nama yang tercetak di kertas
putih itu. Akhirnya, Naya Shofa, di sampingnya tertera kata “LULUS” dengan skor
nilai yang tak sempat diperhatikan oleh Naya karena sibuknya memikirkan satu
topik yang sering terulang dalam benaknya yaitu pulang, pulang dan pulang. Dia
harus menyampaikan berita gembira ini pada ibunya. Tak menghiraukan senja yang
terus menyapa, mengambil alih posisi sang mentari yang mengayomi pijakan bumi,
dan tak berpikir panjang Naya langsung mengambil alih perjalanan menuju tanah
kelahiran, surganya di dunia.
“Assalaamu’alaikum. Ma, aku diterima di
Ma’had. Dan hanya ada waktu satu malam untuk persiapan boyong.” Ujar Naya
dengan bahasa yang lelah. Bagaimana tidak?. Pukul 05.00 sore berangkat dari
Semarang, sampai rumah butuh waktu 4 jam, dan esok harinya sudah harus sampai
Semarang kembali sebelum maghrib.
“Wa’alaikumsalam. Kok malam sangat pulangmu,
nak?. Satu malam, apa tidak terlalu singkat untuk mempersiapkan semuanya?”.
Jawab ibunya.
Dengan tersenyum ringan Naya menjawabnya:
“Maaf ma, tadi jam 05.00 sore lebih aku baru berangkat dari Semarang, dan
sampai rumah saat ini. InsyaAllah bisa, seadanya dulu.”.
“Oh ya sudah, ayo mama bantu. Kamu tidak
lelah, nak?.”. Ujar ibunya.
“Tidak ma, kan mama sendiri yang selalu bilang
ke Naya dan Shinta bahwa kita tidak boleh lelah dalam menuntut ilmu, benar
kan?.”. Naya tersenyum menjawab pertanyaan malaikat tanpa sayapnya itu. Ibunya
pun hanya bisa menjawabnya dengan senyuman kecil tanda sayang pada
anak-anaknya.
“Masih ada waktu kurang lebih dua bulan untuk
karantina, setelah itu penggunaan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari di
sini sudah mulai aktif.”. Kalimat itu yang selalu teringat dalam benak Naya dan
para santriwati Ma’had lainnya. Kalimat ini menjadikan semangat bagi mereka
untuk tetap berlatih dalam berbahasa asing. Sebuah tuntutan akan menjadi sebuah
kebiasaan baik, apabila seseorang itu menanggapinya dengan baik pula. Peraturan
Ma’had aktif jauh sebelum masa perkuliahan dimulai. Mahasiswa yang belum pernah
sama sekali menyentuh ‘Madrasah’, mungkin mereka akan menganggap Ma’had
adalah suatu penjara yang dapat mematahkan semangat dalam hidupnya. Namun tidak
semuanya berpikiran seperti itu. Sebagian mereka menganggap bahwa Ma’had adalah
pencerahan bagi hidup mereka, yang merubah hidupnya menjadi lebih baik dari
sebelumnya, yang membentuk mereka menjadi insan kamil.
Hari-hari pertama di penjara suci menjadi
hari-hari yang dramatis bagi mereka yang manja. Berbeda dengan mereka yang
sudah dilatih menjadi anak yang mandiri sejak usia dini, perasaan mereka tentu
sangatlah berbeda. Atasan hanya memberikan tugas berat pada karyawan terbaik,
dan Tuhan hanya memberikan ujian berat pada manusia terbaik.
Hari pertama kuliah, Naya merasa asing dengan
semua teman barunya. Bagaimana tidak?. Teman dari sekolah yang sama hanya ada
satu, itupun tak satu jurusan. Tak apa, mulai adaptasi kembali.
“Lho... Kalian kembar?”. Tanya Fitri, teman
sekelasnya. Pertama kali yang di kenal Naya adalah Sita. Banyak yang bilang
bahwa mereka adalah kembar.
“Apaaa???”.. Jawab mereka serentak, saling
memandang satu sama lain dengan ekspresi terkejut.
“Kita baru saja kenal. Aku Naya, ini Sita.”.
Jawab Naya kembali.
“Siapa tau kalian kembar yang terpisahkan
selama 17 tahun. Dan baru dipertemukan saat ini.”. Ujar Fitri dengan tawa
kecilnya.
Sita tak mau kalah untuk menjelaskan pada
Fitri, bahwa mereka bukanlah anak kembar. “Hehe.. Tidak Fit. Umur kita aja
beda. Aku sudah 19 tahun, sedangkan Naya baru 17 tahun.”.
“Wah.. Naya masih muda sangat?. Kamu tuh
seharusnya masih anak SMA tau.”. Canda tawa mewarnai kelas baru mereka. Meski
mereka baru saja kenal, namun rasa keharmonisan antar sesama sudah mulai
terbentuk.
“Saat usiaku baru saja menginjak 5 tahun, aku
sudah menduduki bangku sekolah kelas satu MI. Dan tanpa RA/TK. Sangat belia
untuk saat itu.”. Ujar Naya sedikit menceritakan masa kecilnya.
“Kamu dulu dari madrasah?”. Tanya Fitri.
“Iya. Mulai kecil aku dititipkan di Madrasah
oleh kedua orang tuaku. Tujuannya supaya aku tidak tertinggal IPTEK dan tetap
berlandaskan IMTAQ dalam menuntut ilmu melalui perantara madrasah tersebut.”.
Jawab Naya.
“Waaah. Aku baru kali ini menginjak yang
namanya institusi Islam.”. Ujar Fitri disahut oleh Sita, “Iya, aku juga.”.
Memang mereka baru kali ini menyentuh yang namanya institusi Islam, namun
setidaknya mereka mulai mencoba hal baru dalam hidup mereka untuk melakukan
perubahan. Dan asalkan ada TEKAD semuanya akan tercapai, bukan?.
Naya tersenyum simpul menanggapi pernyataan
mereka. “Tak apa lah, kita masih sama-sama belajar. Aku juga baru saja masuk
pondok pesantren, sebelumnya aku anak kost. Belum terbiasa dengan aktifitas
para santri. Apa aku bisa menjalaninya?”.
“Kawan, paling tidak kamu sudah ada bekal
agama mulai kecil. Kenapa tidak?”. Jawab Sita.
“Oke lah, bismillah.”. Jawab singkat Naya.
Naya mengikuti pelatihan sastra di salah satu
UKM di lingkungan kampus. Dia juga membagi waktunya untuk UKM lain dan menjadi
pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan. Pernah suatu ketika Nashrul, teman
sekelasnya bertanya pada Naya tentang aktifitasnya.
“Nay, boleh tanya tidak?.”. Kata Nashrul.
“Tanya apa mas?.”. Ujar Naya.
“Caramu membagi waktu seperti apa?.”. Tanya
Nashrul kembali.
“Bagi waktu?, dalam hal apa?.”. Jawab Naya.
“Kalau kamu ikut menjadi pengurus di tiga
organisasi sekaligus apa kamu bisa membagi waktu dengan maksimal?.”. Tanya
Nashrul.
“Aku bukan pengurus mas, aku hanya anggotanya
saja. Kalau aktifitas bisa seminggu full.”. Sahut Naya.
“Bukankah dapat mengganggu belajarmu?. Aku
yang hanya menjadi ketua HMJ sudah kuwalahan seperti ini. Apalagi kamu?”.
Nashrul terus bertanya tentang kesibukan Naya. Sampai akhirnya Naya
menjawabnya: “Alhamdulillah jangan sampai mas. Di perkuliahan aku belajar, di
sini juga belajar. Hanya saja berbeda konteks belajarnya seperti apa dan hal
yang dipelajari. Ibuku pernah berkata bahwa anaknya harus mencari ilmu sebanyak
mungkin untuk bekal akhirat nanti. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang
dapat menuntun kita pada jalan hidup yang khas dan lurus.”.
“Sip. Aku juga berpikiran seperti itu. Aku
salut sama kamu.”. Nashrul tersenyum mendengar pernyataan Naya. Naya pun
menjawabnya: “Salutlah pada malaikat tanpa sayapmu yang menghadirkanmu dalam
dunia ini, bukan salut denganku.”.
Ketika Naya bermain sastra dengan teman-teman
UKM nya, selalu satu hal yang ia ucapkan kalau senja sudah mulai menyapa.
“Kakak,
aku izin pulang ya?. Sudah pukul 17.30 pm. Waktunya daku kembali ke asal.. :D”.
Ujar Naya pada salah satu anak Teater Mimbar, UKM di lingkungan kampus. Sudah
menjadi tuntutan bahkan habitat mereka untuk mematuhi peraturan Ma’had yang
salah satunya yaitu kembali pulang ke Ma’had sebelum jam 17.30 pm.
“Untuk apa sih pulang Ma’had?, di sini aja lebih
seru. Kalian di sana seperti di penjara kan?”. Tanya Guntur mempegaruhi Sosom
dan Naya.
“Enggak tuh, kami biasa aja. Ya kan Nay?”,
jawab Sosom mengelak. Naya hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat
Sosom.
Diantara remang-remang senja mereka berjalan
pulang menuju penjara suci yang telah mereka cita-citakan. Saatnya mereka
berserah diri pada Tuhan. Takbir terangkat, ruku’ terlaksana dan sujud
terpasrahkan. Tersenyumlah dalam harap dan do’a maka akan kita temukan sejati
dalam diri kita. Salam di penghujung pershalatan merupakan salam menuju
kebahagiaan. Para santriwati berbondong-bondong menuju surau untuk menjalankan
rukun Islam yang kedua yaitu shalat. Kedamaian merasuk dalam jiwa insan yang
berada di sini, walau terkadang mereka mengeluh dengan banyaknya peraturan yang
tersurat dan tersirat dalam penjara suci ini.
“Aku mulai lelah dengan segala peraturan di
sini. Sebenarnya, aku tiada bosan dan kaget dengan peraturan agama di sini.
Namun...”. Ujar Naya bercerita pada temannya, Sosom. Kata-katanya terpenggal,
berhenti sejenak bak menahan bendungan air yang hampir jebol. Naya belum sempat
meneruskan kata-kata yang diucapkannya dan Sosom langsung menyahutnya. “Lalu,
lelah dengan apa?”. Sosom mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya yang
istilah Jawanya nanggal sepisan dengan sedikit patah di bagian
ujungnya.
“Aku tidak suka dengan waktu pulangnya”. Naya to
the point menjawab pertanyaan Sosom. Berhenti sejenak kemudian melanjutkan
kata-katanya kembali. “Kamu dari Semarang hanya butuh perjalanan setengah jam
dari sini, sedangkan aku?. Jauh Som. Aku belum bisa puas di rumah kalau hanya
diberi waktu dua hari satu malam. Itupun ada potongan untuk perjalanannya.
Terserah kalau orang bilang aku ini anak manja. Aku tidak peduli.”
“Sssst... Jangan berbicara seperti itu Nay,
nggak baik tau. Jadikan ini sebuah pembelajaran kita untuk menuju kedewasaan.
Kamu sendiri lho yang selalu menasehati aku dulu, jangan pernah lelah dengan
segala ujian ini. Ujian ini yang akan membawamu ke pintu gerbang kesuksesan.
Masih ingat tidak?”. Sahut Sosom mengingatkan Naya yang hampir saja lalai
dengan ketekadannya tempo dulu. Naya menundukkan kepalanya. Sembari menahan
aliran air matanya yang hampir saja menjebol kantung matanya.
“Sudahlah. Dua belas tahun kamu hidup dalam
lingkungan madrasah. Itu bekalmu. Dan tiga tahun kamu hidup tanpa naungan orang
tua. Setidaknya itu cukup untuk menuntunmu menaati peraturan Ma’had. Ingat kata
pak Yai, Ma’had adalah prioritas utama. Toh di sini hanya untuk satu tahun,
satu semester lagi kita keluar dari sini.”. Ujar kembali Sosom.
Tanpa ragu Naya mengangkat kembali kepalanya,
memandangi Sosom dengan penuh senyum semangat dengan matanya yang sayu, seakan
ingin mengucapkan kata-kata yang sulit untuk dilafadzkannya. Hanya
sebuah anggukan yang ia isyaratkan untuk menanggapi pernyataan yang diutarakan
Sosom.
“Mari kita turun, ngaji kitab kuning
akan segera dimulai”. Ujar Naya.
“Ayo.”. Jawab singkat Sosom.
Mereka turun ke bawah untuk mengikuti ngaji bandongan
oleh Kyai nya. Begitu banyak ekspresi yang diapresiasikan oleh para santriwati
ketika ngaji. Ada yang mendengarkan dengan serius, ada yang ngobrol di
belakang, bahkan yang paling parah adalah banyak juga yang mengukir pulau di
atas kitab. Hal itu bahkan menjadi hal yang biasa apabila tidak ada tuntutan
untuk perubahan.
Malam semakin larut, mata yang enggan lagi
menahan kantuk. Perlahan mulai mengatup menutupi bola mata yang masih ingin
memotret indahnya malam itu. Dan satu-satunya tempat yang paling nyaman ketika
hal itu datang yaitu kasur. Iya, kasur yang diletakkan di atas ranjang susun
milik santriwati. Tidur nyenyak ditemani oleh bunga tidur yang indah adalah
mimpi dan harap setiap orang yang tidur hingga saatnya mereka terjaga.
Malam itupun larut dalam keheningan kegelapan, mimpi indah yang mulai tergoyah. Sayup-sayup
terdengar melodi panggilan surga yang menggema. Dari balik tembok sini
terdengar lembut membangunkan para santriwati untuk kembali menyembahNya,
membasahi lidah dengan dzikrullah.
Para santriwati berbondong-bondong menuju
rumah Allah untuk menunaikan shalat shubuh. Ketika mata mereka masih
membayangkan nikmatnya menarik selimut di fajar yang sungguh dingin menggigit
ini, bahkan tak kan menghalangi mereka untuk tetap menjalankan perintahNya.
Kegiatan khitobah dan muhadatsah berlangsung sampai mentari pagi
tepat berada di ufuk timur, pukul 06.30 am.
Pagi itu kota Atlas masih saja berkabut, walau
terik telah menyapa dunia dengan senyumannya. Maklum daerah pegunungan, walau
mentari sudah muncul pun tak kan bisa lepas dari kabut yang menghiasi hamparan
kota ini. Naya bersiap untuk beraktifitas di kampus kembali. Menuntut ilmu
seperti apa yang diamanahkan oleh kedua orang tuanya.
“Naya, Hida. Aku ingin curhat sama kalian.”.
Ujar Sita.
“Ada apa sayang?”. Jawab Hida.
“Kalian jangan kaget ya?. Sebelumnya aku minta
maaf dengan kalian berdua.”. Sita berkata dengan nada pelan seakan menyimpan
sesuatu yang menyedihkan, tak tega untuk mengungkapkannya. Suasana hening
tiba-tiba menyapa mereka, sebuah persahabatan tiga sejoli.
“Ada apa sih Sit?, jangan bikin kita penasaran
seperti itu dong!”. Kata Naya penasaran.
“Kemungkinan besar semester depan aku sudah
nggak di sini lagi say.”. Jawab Sita.
Naya dan Hida terkejut mendengar perkataan
temannya, seraya serentak berkata: “Kenapa?.”. Tentu saja mereka kaget
mendengar pernyataan itu. Bagaimana tidak?. Walau baru saja enam bulan mereka
kenal, namun mereka merasa seperti bersahabat puluhan tahun.
“Pertama, aku tidak yakin dapat menanggung
biaya kuliahku. Karena orang tuaku sudah melepasku untuk membiayai kuliah
sendiri. Kedua, aku tidak pernah menyentuh yang namanya Madrasah, dan tanpa ada dasar serta bekal langsung masuk perguruan
tinggi Islam. Aku shock dengan mata
kuliah agama yang diajarkan. Tujuanku di sini untuk belajar serius dalam bidang
Kimia, bukan yang lain. Ketika aku mempunyai dua tugas, makul dari Kimia dan
makul agama, yang aku dahulukan pasti yang agama. Kalian tahu kenapa?. Karena
aku merasa terbebani dengan tugas itu, kawan.”. Ujar
Sita.
“Sssst. Jangan bicara seperti itu, kawan.
Jadikan ini sebuah motivasi dan pembelajaran. Menuntut ilmu memang butuh
perjuangan dan waktu. Tidak ada hal yang instan. InsyaAllah kita akan
membantumu jika kita mampu.”. Jawab Naya memotong pikiran Sita untuk keluar dari
kuliah.
“Tidak Nay. Keputusanku sudah bulat. Maafkan
aku Nay, Hid. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian. Terimakasih telah
menemaniku selama satu semester di sini, terimakasih juga telah mengajariku
arti sebuah persahabatan.”. Sita mengucap seraya meneteskan air matanya. Dan
Naya hanya bisa menunduk, berpikir bagaimana caranya supaya Sita ingin tetap di
sini. Tiba-tiba Hida berkata pelan: “Sebenarnya aku juga tidak betah di sini.
Dulu aku ingin sekali kuliah di universitas yang sama dengan kakakku. Aku juga
berpikiran seperti Sita.”. Seketika itu juga Naya mengangkat kepalanya sejenak mata
sayunya melotot ke arah Hida dan Sita. Lalu ia berkata: “Apa kalian tega
meninggalkan aku di sini?. Kalian istimewa untukku. Kalian yang menemaniku
ketika aku tiada teman yang mau memberikan bahunya untuk sandaranku. Kenapa?.”.
Butir-butir mutiara suci perlahan menetes mengikuti lekuk pipi merona Naya.
Bagaimana tidak?. Ditinggalkan oleh sahabat sama sakitnya ketika kita
ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.
Hida berkata: “Namun. Bagaimanapun keadaannya
aku akan tetap mencoba bertahan di sini. Orang tuaku mengeluarkan jerih
payahnya untuk membiayaiku kuliah di sini, dan begitu ringankah aku
mempermainkannya?. Aku akan tetap di sini Nay.”.
Naya tersenyum mendengar ucapan Hida. Satu
sahabatnya tidak meninggalkannya. Namun Sita tetap pada pendiriannya. Dia
berencana meninggalkan kuliahnya dan memilih bekerja untuk sementara yang
nantinya akan digunakan untuk mendaftar kuliah di perguruan tinggi umum.
“InsyaAllah nanti aku akan main ke sini
menjenguk kalian. Maaf kalau setelah liburan nanti sudah tiada daku diantara
kalian. Berjuanglah kawan!!!.”. Ujar Sita. Serambi meneteskan air mata mereka
berkata: “Hati-hati kawan!. Do’a kami menyertaimu. Jangan menyerah!,
semangat!.”.
Matahari berjalan menuju ufuk barat untuk
menggapai sejatinya di sana. Bersembunyi diantara keramaian dunia. Mengintip
sejenak sebelum menutup matanya. Senja itu, Naya bermain kata dengan divisi
sastra Teater Mimbar. Salah satu temannya bertanya, sebut saja namanya Odil. “Nay,
Som. Bentar lagi kan kalian keluar dari Ma’had. Rencananya mau ke mana?. Kost,
pesantren, kontrakan atau bagaimana?.”.
“Emangnya kenapa mbak?.”. Naya berbalik
bertanya.Odil pun menjawabnya: “Kalau kalian tidak di pesantren nanti kan bisa
ikut latihan teater. Soalnya teater pentasnya malam, tidak mungkin kalian bisa
ikut kalau kalian masih berada di pesantren.”.
“Kami belum tahu mbak. Sebenarnya kami ingin menyantri
lagi, namun di sisi lain kami juga ingin seperti kalian. Kami butuh waktu untuk
memikirkan hal itu.”. Sahut Naya.
Libur panjang yang telah dinanti-nantikan
akhirnya datang menjemput mereka. Namun berbeda dengan keadaan di Ma’had.
Umumnya libur dua bulan, namun di sini hanya dua minggu. Mereka mempunyai
agenda Two Weeks Of Training yang menyita hari libur mereka. Setelah agenda itu
selesai, paginya langsung disambut oleh kuliah umum kembali. Sungguh menuntut
ilmu yang melelahkan. Namun, pada hakikatnya kita tidak boleh menyerah dalam
menuntut ilmu, bukan?. Menuntut ilmu bukanlah suatu paksaan, namun sebuah
kewajiban. Hal itu yang dirasakan oleh para santriwati Ma’had Walisongo.
Tidak terasa semester dua sudah berjalan
setengahnya. Tiba-tiba ada pesan masuk di handphone Naya. “Aku di
kampus, mau ketemu nggak?”. Tertera di bawahnya “Dari: Sita”. Naya
tertegun, jantungnya berdetak kencang bagai kedua mempelai yang bersanding di
kursi raja. Naya bergegas mendatangi tempat Sita berada. Ternyata di sana sudah
ada Hida disamping Sita. Sejenak ia berhenti di hadapannya dan terucap dari
mulutnya: “Sita.”. Ekspresinya seperti ibu yang telah kehilangan anaknya selama
beberapa tahun dan dipertemukan kembali dalam keadaan yang begitu baik. Seraya
ia tersenyum dan memeluk Sita seerat mungkin. Hida pun tersenyum melihat
kelakuan konyol mereka. Terucap dari mulut Naya: “Kamu benar-benar telah membuktikan
kata-katamu dulu, kawan. Terimakasih.”.
No comments:
Post a Comment