Social Icons

Pages

Friday, 23 May 2014

DEBUR OMBAK



DEBUR OMBAK

 



“Ma, apa benar aku akan menjadi santriwati di sini?”, ujar Naya pada ibunya ketika  ia pertama kali melihat papan yang bertuliskan ‘Pondok Pesantren Putri Ma’had Walisongo’ terpampang lebar dan jelas di depannya. Ia tak percaya bahwa ia akan hidup dalam penjara suci yang sebelumnya tidak pernah dialaminya. Sebenarnya bukan suatu masalah besar bagi Naya jika ia tinggal di penjara suci itu, karena ia pernah tiga tahun hidup pisah dari keluarganya, ia tinggal di kost yang juga mempunyai aturan namun tak melebihi aturan dalam penjara suci.



Senja yang memikat, mematahkan kelelahan sepasang kaki yang melangkah mencari kehangatan, mata sayu yang pernah menahan lelah, dan ini adalah waktunya. Tak seperti pondok pesantren lain, yang boleh mendaftar tanpa ada seleksi penerimaan. Ini yang membuatnya terkagum oleh penjara suci itu, pondok pesantren modern berbasis salaf. Tak semua mahasiswa dapat di terima di sini. Ma’had Walisongo adalah asrama bagi mahasiswa baru IAIN Walisongo. Ilmu agama dan pengetahuan umum yang notabene ditempuh dalam jangka waktu empat tahun, dalam tempo hanya satu tahun dapat diselesaikan di sini. Memang banyak peraturan, namun Naya bertekad “Aku bisa!!!”.



“Bismillaahirrahmaanirrahim, ku awali hari-hariku dengan mengucap basmalah”. Naya bersiap-siap untuk berangkat menuju medan perang, menyiapkan senjata untuk melawan kebodohan. Pagi itu, pagi yang menggetarkan hatinya. Tes seleksi masuk pondok pesantren, ‘ilmu agama dan dua bahasa asing, bahasa Arab dan bahasa Inggris’. Semuanya memang terserah Tuhan, tapi Tuhan mendahulukan jawaban bagi permintaan jiwa yang berupaya.



“Ris, sampai jam segini belum ada pengumuman, dan besok harus sudah menetap di sini jika di terima. Tapi aku belum membawa barang-barangku, kawan. Bagaimana?”. Tanya Naya pada Riris, temannya.



“Aku nggak tau Nay, aku sih sudah menyiapkan payung sebelum hujan. (Tertawa kecil). Kamu sih nggak sekalian dibawa aja tadi. Kan kita nggak capek kalau dah disiapin.”. Jawab Riris.



“Mana aku tau Ris?, kalau tidak ada waktu tenggang sama sekali seperti ini. Aku kira diberi tempo beberapa hari untuk mengambil keputusan dan persiapan menetap.”. Ujar Naya.



Tak selang waktu begitu lama, hasil penyeleksian santriwati baru pun ditempel di dinding pengumuman. Butuh waktu lama mencari satu nama diantara tiga ratus daftar nama yang tercetak di kertas putih itu. Akhirnya, Naya Shofa, di sampingnya tertera kata “LULUS” dengan skor nilai yang tak sempat diperhatikan oleh Naya karena sibuknya memikirkan satu topik yang sering terulang dalam benaknya yaitu pulang, pulang dan pulang. Dia harus menyampaikan berita gembira ini pada ibunya. Tak menghiraukan senja yang terus menyapa, mengambil alih posisi sang mentari yang mengayomi pijakan bumi, dan tak berpikir panjang Naya langsung mengambil alih perjalanan menuju tanah kelahiran, surganya di dunia.



“Assalaamu’alaikum. Ma, aku diterima di Ma’had. Dan hanya ada waktu satu malam untuk persiapan boyong.” Ujar Naya dengan bahasa yang lelah. Bagaimana tidak?. Pukul 05.00 sore berangkat dari Semarang, sampai rumah butuh waktu 4 jam, dan esok harinya sudah harus sampai Semarang kembali sebelum maghrib.



“Wa’alaikumsalam. Kok malam sangat pulangmu, nak?. Satu malam, apa tidak terlalu singkat untuk mempersiapkan semuanya?”. Jawab ibunya.



Dengan tersenyum ringan Naya menjawabnya: “Maaf ma, tadi jam 05.00 sore lebih aku baru berangkat dari Semarang, dan sampai rumah saat ini. InsyaAllah bisa, seadanya dulu.”.



“Oh ya sudah, ayo mama bantu. Kamu tidak lelah, nak?.”. Ujar ibunya.



“Tidak ma, kan mama sendiri yang selalu bilang ke Naya dan Shinta bahwa kita tidak boleh lelah dalam menuntut ilmu, benar kan?.”. Naya tersenyum menjawab pertanyaan malaikat tanpa sayapnya itu. Ibunya pun hanya bisa menjawabnya dengan senyuman kecil tanda sayang pada anak-anaknya.



“Masih ada waktu kurang lebih dua bulan untuk karantina, setelah itu penggunaan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari di sini sudah mulai aktif.”. Kalimat itu yang selalu teringat dalam benak Naya dan para santriwati Ma’had lainnya. Kalimat ini menjadikan semangat bagi mereka untuk tetap berlatih dalam berbahasa asing. Sebuah tuntutan akan menjadi sebuah kebiasaan baik, apabila seseorang itu menanggapinya dengan baik pula. Peraturan Ma’had aktif jauh sebelum masa perkuliahan dimulai. Mahasiswa yang belum pernah sama sekali menyentuh ‘Madrasah’, mungkin mereka akan menganggap Ma’had adalah suatu penjara yang dapat mematahkan semangat dalam hidupnya. Namun tidak semuanya berpikiran seperti itu. Sebagian mereka menganggap bahwa Ma’had adalah pencerahan bagi hidup mereka, yang merubah hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya, yang membentuk mereka menjadi insan kamil.



Hari-hari pertama di penjara suci menjadi hari-hari yang dramatis bagi mereka yang manja. Berbeda dengan mereka yang sudah dilatih menjadi anak yang mandiri sejak usia dini, perasaan mereka tentu sangatlah berbeda. Atasan hanya memberikan tugas berat pada karyawan terbaik, dan Tuhan hanya memberikan ujian berat pada manusia terbaik.



Hari pertama kuliah, Naya merasa asing dengan semua teman barunya. Bagaimana tidak?. Teman dari sekolah yang sama hanya ada satu, itupun tak satu jurusan. Tak apa, mulai adaptasi kembali.



“Lho... Kalian kembar?”. Tanya Fitri, teman sekelasnya. Pertama kali yang di kenal Naya adalah Sita. Banyak yang bilang bahwa mereka adalah kembar.



“Apaaa???”.. Jawab mereka serentak, saling memandang satu sama lain dengan ekspresi terkejut.



“Kita baru saja kenal. Aku Naya, ini Sita.”. Jawab Naya kembali.



“Siapa tau kalian kembar yang terpisahkan selama 17 tahun. Dan baru dipertemukan saat ini.”. Ujar Fitri dengan tawa kecilnya.



Sita tak mau kalah untuk menjelaskan pada Fitri, bahwa mereka bukanlah anak kembar. “Hehe.. Tidak Fit. Umur kita aja beda. Aku sudah 19 tahun, sedangkan Naya baru 17 tahun.”.



“Wah.. Naya masih muda sangat?. Kamu tuh seharusnya masih anak SMA tau.”. Canda tawa mewarnai kelas baru mereka. Meski mereka baru saja kenal, namun rasa keharmonisan antar sesama sudah mulai terbentuk.



“Saat usiaku baru saja menginjak 5 tahun, aku sudah menduduki bangku sekolah kelas satu MI. Dan tanpa RA/TK. Sangat belia untuk saat itu.”. Ujar Naya sedikit menceritakan masa kecilnya.



“Kamu dulu dari madrasah?”. Tanya Fitri.



“Iya. Mulai kecil aku dititipkan di Madrasah oleh kedua orang tuaku. Tujuannya supaya aku tidak tertinggal IPTEK dan tetap berlandaskan IMTAQ dalam menuntut ilmu melalui perantara madrasah tersebut.”. Jawab Naya.



“Waaah. Aku baru kali ini menginjak yang namanya institusi Islam.”. Ujar Fitri disahut oleh Sita, “Iya, aku juga.”. Memang mereka baru kali ini menyentuh yang namanya institusi Islam, namun setidaknya mereka mulai mencoba hal baru dalam hidup mereka untuk melakukan perubahan. Dan asalkan ada TEKAD semuanya akan tercapai, bukan?.



Naya tersenyum simpul menanggapi pernyataan mereka. “Tak apa lah, kita masih sama-sama belajar. Aku juga baru saja masuk pondok pesantren, sebelumnya aku anak kost. Belum terbiasa dengan aktifitas para santri. Apa aku bisa menjalaninya?”.



“Kawan, paling tidak kamu sudah ada bekal agama mulai kecil. Kenapa tidak?”. Jawab Sita.



“Oke lah, bismillah.”. Jawab singkat Naya.



Naya mengikuti pelatihan sastra di salah satu UKM di lingkungan kampus. Dia juga membagi waktunya untuk UKM lain dan menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan. Pernah suatu ketika Nashrul, teman sekelasnya bertanya pada Naya tentang aktifitasnya.



“Nay, boleh tanya tidak?.”. Kata Nashrul.



“Tanya apa mas?.”. Ujar Naya.



“Caramu membagi waktu seperti apa?.”. Tanya Nashrul kembali.



“Bagi waktu?, dalam hal apa?.”. Jawab Naya.



“Kalau kamu ikut menjadi pengurus di tiga organisasi sekaligus apa kamu bisa membagi waktu dengan maksimal?.”. Tanya Nashrul.



“Aku bukan pengurus mas, aku hanya anggotanya saja. Kalau aktifitas bisa seminggu full.”. Sahut Naya.



“Bukankah dapat mengganggu belajarmu?. Aku yang hanya menjadi ketua HMJ sudah kuwalahan seperti ini. Apalagi kamu?”. Nashrul terus bertanya tentang kesibukan Naya. Sampai akhirnya Naya menjawabnya: “Alhamdulillah jangan sampai mas. Di perkuliahan aku belajar, di sini juga belajar. Hanya saja berbeda konteks belajarnya seperti apa dan hal yang dipelajari. Ibuku pernah berkata bahwa anaknya harus mencari ilmu sebanyak mungkin untuk bekal akhirat nanti. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang dapat menuntun kita pada jalan hidup yang khas dan lurus.”.



“Sip. Aku juga berpikiran seperti itu. Aku salut sama kamu.”. Nashrul tersenyum mendengar pernyataan Naya. Naya pun menjawabnya: “Salutlah pada malaikat tanpa sayapmu yang menghadirkanmu dalam dunia ini, bukan salut denganku.”.



Ketika Naya bermain sastra dengan teman-teman UKM nya, selalu satu hal yang ia ucapkan kalau senja sudah mulai menyapa.



 “Kakak, aku izin pulang ya?. Sudah pukul 17.30 pm. Waktunya daku kembali ke asal.. :D”. Ujar Naya pada salah satu anak Teater Mimbar, UKM di lingkungan kampus. Sudah menjadi tuntutan bahkan habitat mereka untuk mematuhi peraturan Ma’had yang salah satunya yaitu kembali pulang ke Ma’had sebelum jam 17.30 pm.



“Untuk apa sih pulang Ma’had?, di sini aja lebih seru. Kalian di sana seperti di penjara kan?”. Tanya Guntur mempegaruhi Sosom dan Naya.



“Enggak tuh, kami biasa aja. Ya kan Nay?”, jawab Sosom mengelak. Naya hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Sosom.



Diantara remang-remang senja mereka berjalan pulang menuju penjara suci yang telah mereka cita-citakan. Saatnya mereka berserah diri pada Tuhan. Takbir terangkat, ruku’ terlaksana dan sujud terpasrahkan. Tersenyumlah dalam harap dan do’a maka akan kita temukan sejati dalam diri kita. Salam di penghujung pershalatan merupakan salam menuju kebahagiaan. Para santriwati berbondong-bondong menuju surau untuk menjalankan rukun Islam yang kedua yaitu shalat. Kedamaian merasuk dalam jiwa insan yang berada di sini, walau terkadang mereka mengeluh dengan banyaknya peraturan yang tersurat dan tersirat dalam penjara suci ini.



“Aku mulai lelah dengan segala peraturan di sini. Sebenarnya, aku tiada bosan dan kaget dengan peraturan agama di sini. Namun...”. Ujar Naya bercerita pada temannya, Sosom. Kata-katanya terpenggal, berhenti sejenak bak menahan bendungan air yang hampir jebol. Naya belum sempat meneruskan kata-kata yang diucapkannya dan Sosom langsung menyahutnya. “Lalu, lelah dengan apa?”. Sosom mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya yang istilah Jawanya nanggal sepisan dengan sedikit patah di bagian ujungnya.



“Aku tidak suka dengan waktu pulangnya”. Naya to the point menjawab pertanyaan Sosom. Berhenti sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya kembali. “Kamu dari Semarang hanya butuh perjalanan setengah jam dari sini, sedangkan aku?. Jauh Som. Aku belum bisa puas di rumah kalau hanya diberi waktu dua hari satu malam. Itupun ada potongan untuk perjalanannya. Terserah kalau orang bilang aku ini anak manja. Aku tidak peduli.”



“Sssst... Jangan berbicara seperti itu Nay, nggak baik tau. Jadikan ini sebuah pembelajaran kita untuk menuju kedewasaan. Kamu sendiri lho yang selalu menasehati aku dulu, jangan pernah lelah dengan segala ujian ini. Ujian ini yang akan membawamu ke pintu gerbang kesuksesan. Masih ingat tidak?”. Sahut Sosom mengingatkan Naya yang hampir saja lalai dengan ketekadannya tempo dulu. Naya menundukkan kepalanya. Sembari menahan aliran air matanya yang hampir saja menjebol kantung matanya.



“Sudahlah. Dua belas tahun kamu hidup dalam lingkungan madrasah. Itu bekalmu. Dan tiga tahun kamu hidup tanpa naungan orang tua. Setidaknya itu cukup untuk menuntunmu menaati peraturan Ma’had. Ingat kata pak Yai, Ma’had adalah prioritas utama. Toh di sini hanya untuk satu tahun, satu semester lagi kita keluar dari sini.”. Ujar kembali Sosom.



Tanpa ragu Naya mengangkat kembali kepalanya, memandangi Sosom dengan penuh senyum semangat dengan matanya yang sayu, seakan ingin mengucapkan kata-kata yang sulit untuk dilafadzkannya. Hanya sebuah anggukan yang ia isyaratkan untuk menanggapi pernyataan yang diutarakan Sosom.



“Mari kita turun, ngaji kitab kuning akan segera dimulai”. Ujar Naya.



“Ayo.”. Jawab singkat Sosom.



Mereka turun ke bawah untuk mengikuti ngaji bandongan oleh Kyai nya. Begitu banyak ekspresi yang diapresiasikan oleh para santriwati ketika ngaji. Ada yang mendengarkan dengan serius, ada yang ngobrol di belakang, bahkan yang paling parah adalah banyak juga yang mengukir pulau di atas kitab. Hal itu bahkan menjadi hal yang biasa apabila tidak ada tuntutan untuk perubahan.



Malam semakin larut, mata yang enggan lagi menahan kantuk. Perlahan mulai mengatup menutupi bola mata yang masih ingin memotret indahnya malam itu. Dan satu-satunya tempat yang paling nyaman ketika hal itu datang yaitu kasur. Iya, kasur yang diletakkan di atas ranjang susun milik santriwati. Tidur nyenyak ditemani oleh bunga tidur yang indah adalah mimpi dan harap setiap orang yang tidur hingga saatnya mereka terjaga.



Malam itupun larut dalam keheningan kegelapan,  mimpi indah yang mulai tergoyah. Sayup-sayup terdengar melodi panggilan surga yang menggema. Dari balik tembok sini terdengar lembut membangunkan para santriwati untuk kembali menyembahNya, membasahi lidah dengan dzikrullah.



Para santriwati berbondong-bondong menuju rumah Allah untuk menunaikan shalat shubuh. Ketika mata mereka masih membayangkan nikmatnya menarik selimut di fajar yang sungguh dingin menggigit ini, bahkan tak kan menghalangi mereka untuk tetap menjalankan perintahNya. Kegiatan khitobah dan muhadatsah berlangsung sampai mentari pagi tepat berada di ufuk timur, pukul 06.30 am.



Pagi itu kota Atlas masih saja berkabut, walau terik telah menyapa dunia dengan senyumannya. Maklum daerah pegunungan, walau mentari sudah muncul pun tak kan bisa lepas dari kabut yang menghiasi hamparan kota ini. Naya bersiap untuk beraktifitas di kampus kembali. Menuntut ilmu seperti apa yang diamanahkan oleh kedua orang tuanya.



“Naya, Hida. Aku ingin curhat sama kalian.”. Ujar Sita.



“Ada apa sayang?”. Jawab Hida.



“Kalian jangan kaget ya?. Sebelumnya aku minta maaf dengan kalian berdua.”. Sita berkata dengan nada pelan seakan menyimpan sesuatu yang menyedihkan, tak tega untuk mengungkapkannya. Suasana hening tiba-tiba menyapa mereka, sebuah persahabatan tiga sejoli.



“Ada apa sih Sit?, jangan bikin kita penasaran seperti itu dong!”. Kata Naya penasaran.



“Kemungkinan besar semester depan aku sudah nggak di sini lagi say.”. Jawab Sita.



Naya dan Hida terkejut mendengar perkataan temannya, seraya serentak berkata: “Kenapa?.”. Tentu saja mereka kaget mendengar pernyataan itu. Bagaimana tidak?. Walau baru saja enam bulan mereka kenal, namun mereka merasa seperti bersahabat puluhan tahun.



“Pertama, aku tidak yakin dapat menanggung biaya kuliahku. Karena orang tuaku sudah melepasku untuk membiayai kuliah sendiri. Kedua, aku tidak pernah menyentuh yang namanya Madrasah, dan tanpa ada dasar serta bekal langsung masuk perguruan tinggi Islam. Aku shock dengan mata kuliah agama yang diajarkan. Tujuanku di sini untuk belajar serius dalam bidang Kimia, bukan yang lain. Ketika aku mempunyai dua tugas, makul dari Kimia dan makul agama, yang aku dahulukan pasti yang agama. Kalian tahu kenapa?. Karena aku merasa terbebani dengan tugas itu, kawan.”. Ujar Sita.



“Sssst. Jangan bicara seperti itu, kawan. Jadikan ini sebuah motivasi dan pembelajaran. Menuntut ilmu memang butuh perjuangan dan waktu. Tidak ada hal yang instan. InsyaAllah kita akan membantumu jika kita mampu.”. Jawab Naya memotong pikiran Sita untuk keluar dari kuliah.



“Tidak Nay. Keputusanku sudah bulat. Maafkan aku Nay, Hid. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian. Terimakasih telah menemaniku selama satu semester di sini, terimakasih juga telah mengajariku arti sebuah persahabatan.”. Sita mengucap seraya meneteskan air matanya. Dan Naya hanya bisa menunduk, berpikir bagaimana caranya supaya Sita ingin tetap di sini. Tiba-tiba Hida berkata pelan: “Sebenarnya aku juga tidak betah di sini. Dulu aku ingin sekali kuliah di universitas yang sama dengan kakakku. Aku juga berpikiran seperti Sita.”. Seketika itu juga Naya mengangkat kepalanya sejenak mata sayunya melotot ke arah Hida dan Sita. Lalu ia berkata: “Apa kalian tega meninggalkan aku di sini?. Kalian istimewa untukku. Kalian yang menemaniku ketika aku tiada teman yang mau memberikan bahunya untuk sandaranku. Kenapa?.”. Butir-butir mutiara suci perlahan menetes mengikuti lekuk pipi merona Naya. Bagaimana tidak?. Ditinggalkan oleh sahabat sama sakitnya ketika kita ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.



Hida berkata: “Namun. Bagaimanapun keadaannya aku akan tetap mencoba bertahan di sini. Orang tuaku mengeluarkan jerih payahnya untuk membiayaiku kuliah di sini, dan begitu ringankah aku mempermainkannya?. Aku akan tetap di sini Nay.”.



Naya tersenyum mendengar ucapan Hida. Satu sahabatnya tidak meninggalkannya. Namun Sita tetap pada pendiriannya. Dia berencana meninggalkan kuliahnya dan memilih bekerja untuk sementara yang nantinya akan digunakan untuk mendaftar kuliah di perguruan tinggi umum.



“InsyaAllah nanti aku akan main ke sini menjenguk kalian. Maaf kalau setelah liburan nanti sudah tiada daku diantara kalian. Berjuanglah kawan!!!.”. Ujar Sita. Serambi meneteskan air mata mereka berkata: “Hati-hati kawan!. Do’a kami menyertaimu. Jangan menyerah!, semangat!.”.



Matahari berjalan menuju ufuk barat untuk menggapai sejatinya di sana. Bersembunyi diantara keramaian dunia. Mengintip sejenak sebelum menutup matanya. Senja itu, Naya bermain kata dengan divisi sastra Teater Mimbar. Salah satu temannya bertanya, sebut saja namanya Odil. “Nay, Som. Bentar lagi kan kalian keluar dari Ma’had. Rencananya mau ke mana?. Kost, pesantren, kontrakan atau bagaimana?.”.



“Emangnya kenapa mbak?.”. Naya berbalik bertanya.Odil pun menjawabnya: “Kalau kalian tidak di pesantren nanti kan bisa ikut latihan teater. Soalnya teater pentasnya malam, tidak mungkin kalian bisa ikut kalau kalian masih berada di pesantren.”.



“Kami belum tahu mbak. Sebenarnya kami ingin menyantri lagi, namun di sisi lain kami juga ingin seperti kalian. Kami butuh waktu untuk memikirkan hal itu.”. Sahut Naya.



Libur panjang yang telah dinanti-nantikan akhirnya datang menjemput mereka. Namun berbeda dengan keadaan di Ma’had. Umumnya libur dua bulan, namun di sini hanya dua minggu. Mereka mempunyai agenda Two Weeks Of Training yang menyita hari libur mereka. Setelah agenda itu selesai, paginya langsung disambut oleh kuliah umum kembali. Sungguh menuntut ilmu yang melelahkan. Namun, pada hakikatnya kita tidak boleh menyerah dalam menuntut ilmu, bukan?. Menuntut ilmu bukanlah suatu paksaan, namun sebuah kewajiban. Hal itu yang dirasakan oleh para santriwati Ma’had Walisongo.



Tidak terasa semester dua sudah berjalan setengahnya. Tiba-tiba ada pesan masuk di handphone Naya. “Aku di kampus, mau ketemu nggak?”. Tertera di bawahnya “Dari: Sita”. Naya tertegun, jantungnya berdetak kencang bagai kedua mempelai yang bersanding di kursi raja. Naya bergegas mendatangi tempat Sita berada. Ternyata di sana sudah ada Hida disamping Sita. Sejenak ia berhenti di hadapannya dan terucap dari mulutnya: “Sita.”. Ekspresinya seperti ibu yang telah kehilangan anaknya selama beberapa tahun dan dipertemukan kembali dalam keadaan yang begitu baik. Seraya ia tersenyum dan memeluk Sita seerat mungkin. Hida pun tersenyum melihat kelakuan konyol mereka. Terucap dari mulut Naya: “Kamu benar-benar telah membuktikan kata-katamu dulu, kawan. Terimakasih.”.

No comments:

 
Blogger Templates