STUDI ISLAM DALAM KONTEKS POLITIK AGAMA
Agama Islam merupakan agama yang diyakini oleh
mayoritas masyarakat di penjuru dunia, dari bujur timur sampai bujur barat,
bahkan lintang selatan sampai lintang utara. Oleh karena itu, cara mereka
memahami Islam pun berbeda-beda. Tidak aneh jika Islam pecah menjadi beberapa
paham seperti Syiah, Khawarij, Nahdlatul Ulama’(Ahlussunnah Wal Jama’ah), Wahabi dan sebagainya. Mereka memahami
Islam dari berbagai sudut pandang dan berbagai pendekatan seperti pendekatan
normatif, historis, semantik, filologi dan hermeneutika. Dari
pendekatan-pendekatan tersebut mereka merasa paham mereka adalah paham yang
paling benar dari paham-paham Islam yang lain. Namun tak seharusnya paham lain yang
tidak mereka anut dianggap salah karena mereka memandang Islam dari sudut yang
berbeda. Juga tidak bisa dikatakan semua paham itu benar, hanya Allah SWT yang
mengetahui kebenarannya.
Agama dan negara merupakan suatu komponen yang
tidak bisa dipisahkan, apalagi dielakkan dalam kehidupan bernegara. Jika kita
kaitkan dengan isu-isu kontemporer yang sedang dalam puncak kehangatannya ini,
yaitu pemilihan umum presiden dan wakil presiden pada hari rabu, 9 Juli 2014
banyak sekali kampanye-kampanye yang mengkait-kaitkan akan agama yang dianut
oleh kedua calon. Dalam hal ini terdapat persaingan yang sungguh ketat, maklum
saja jika isu positif dan negatif marak di media massa. Ada pihak yang berpropaganda
mengedarkan isu positif sesuai dengan keadaan calon maupun melebih-lebihkannya,
ada juga pihak yang sengaja memberikan info negatif tentang lawan calon untuk
menjatuhkannya. Namun, kita sebagai orang awam tidak pernah tahu manakah
pernyataan yang benar. Kita sebagai warga negara Indonesia yang patuh dan
pemeluk agama Islam yang taat selayaknya kita dapat memilih calon pemimpin kita
yang benar-benar nasionalisme dan dapat memimpin negaranya dengan adil sesuai
dengan yang diajarkan dalam Islam.
Menurut informasi yang penulis gali dari
berbagai sumber, terutama dari beberapa media massa seringkali membahas
kampanye yang mempermasalahkan agama. Pasangan nomor urut satu misalnya, beliau
merupakan anak dari pasangan suami istri Prof. Dr. Sumitro Joyo Hadi Kusumo dan
Dora Marie Sigar yang diduga ibunya adalah seorang Kristen Protestan. Bagi yang
memandang isu tersebut dengan pendekatan semantik pastinya mereka memahami
bahasa yang digunakan memiliki dua arti, apakah calon tersebut Islamnya taat
ataukah tidak karena beliau adalah keturunan nonmuslim. Dengan pendekatan
historis yaitu menurut asal usul beliau yang merupakan keturunan dekat dari
seorang nonmuslim kita bisa berargumen bahwa beliau bukanlah seorang Muslim yang
taat. Namun bisa saja calon tersebut tidak menapaki jejak sang ibu melainkan
melangkah mengikuti jejak sang ayah yang hidup sebagai seorang Muslim jika yang
memandangnya menggunakan pendekatan Filologi, mungkin saja ada pihak yang
merubah info tersebut. Wallaahu a’lam.
Lalu bagaimana dengan kedok agama pasangan
nomor urut 2?. Dari salah satu info yang penulis terima menerangkan bahwa
beliau merupakan keturunan dari antek Cina Singapura yang bernama Oey Hong
Liong yang dinyatakan sebagai antek Cina kafir. Apakah hal tersebut merupakan
suatu fakta ataukah fitnah?. Kita diajarkan untuk bersaing dengan sehat dan
tidak berambisi untuk menjatuhkan lawan. Padahal yang penulis ketahui saat ini
tentang biodata beliau yang merupakan putra dari pasangan Noto Mihardjo dan
Sujiatmi Notomiharjo yang keduanya adalah penduduk asli Jawa Tengah (Wikipedia,
2014). Tidak ada unsur kecinaan dalam keluarga mereka. Seperti halnya di atas,
orang yang memandang beliau sebagai keturunan dari antek Cina kafir mungkin
mereka hanya membaca satu sumber dari puluhan isu yang beredar di masyarakat.
Ada juga isu yang menyebutkan bahwa nama Jokowi merupakan pergeseran kata dan
makna dari Cho Kho Wie yang merupakan nama Cina. Info ini memperkuat pandangan
masyarakat tentang beliau yang diduga keturunan antek Cina. Mereka mungkin
menafsiri nama tersebut menggunakan pendekatan hermeneutika yang juga digunakan
dalam studi Islam. Bagaimana dengan title H (haji) yang menempel pada nama
masing-masing calon?. Itu dapat dijadikan sebagai catatan kita dalam memandang keshahihan
agama mereka.
Selain calon presiden yang diharapkan baik
dalam memimpin negaranya, kita juga harus memperhatikan siapa yang
mendampinginya. Seyogyanya jika kita memilih seorang pemimpin negara haruslah
yang dapat mengatur negaranya dengan baik menuju sebuah negara yang berdaulat,
maju dan tentram. Memilih pemimpin negara yang toleran, pluralis, egalitarian,
musyawarah dan menjunjung tinggi norma-norma yang telah ditegakkan dalam negara
ini perlu ditanamkan pada setiap warga negara Indonesia, karena hanya merekalah
yang menentukan baik tidaknya kepemimpinan negaranya kelak. Kriteria pemimpin
negara yang penulis harapkan cukuplah sederhana namun mengandung amanah yang
sungguh luar biasa yaitu Presiden yang dapat mengatur negaranya, pendampingnya
dapat mengatur agama dalam negaranya. Kita sebagai warga negara Indonesia yang
patuh dan pemeluk agama Islam yang taat harus dapat mewujudkan cita-cita bangsa
melalui perantara pemimpin kita. Jadi, satu suara menentukan keadaan negara dan
agama kita selama 5 tahun ke depan.