Malam
masih girang untuk dieja,
dan
kita akan membelahnya bersama…
Benakku
telah dimainkan oleh dua pilihan. Kedatangan senja nampak semakin jelas,
apalagi rintik- rintik hujan yang jatuh dari langit biru tua membuat kanal atap
rumahku.
“Berangkat,
tidak, berangkat, tidak. Bagaimana pak, bu?. Semuanya sudah siap, mas Ulin juga
sudah menunggu kabar keberangkatanku. Tapi hujan di luar sana begitu deras. Aku
takut jika di pertengahan ladang padi nanti akan ada guntur yang menyambar-
nyambar”.
Ibuku
menyerahkan keputusannya padaku, kata beliau aku yang akan menjalani resiko di
perjalanan nanti. Jadi atau tidaknya berangkat ke Semarang tergantung pada
nyala api dalam diriku. Dan bapakku hanya menyuruhku berdo’a.
Aku
sempat ragu dengan keputusanku pada senja yang hampir saja menjelma malam itu.
Bagaimana tidak? Aku akan bertemu dengan aa’ setelah perjalanan kurang lebih 45
menit melewati jalan tengah sawah dengan cuaca yang mengerikan itu. Tapi jika
aku berangkat esok tak ada yang menemaniku.
Hari
ini adalah hari tahun baru China, di mana orang- orang China merayakan hari
keberuntungannya itu. Konon, jika hari itu turun hujan, maka akan berlimpah
pula ekonomi mereka. Berbeda dengan pandangan agama yang ku anut saat ini, di
mana aku diajarkan bahwa semua hari adalah baik untuk mencari rizqi. Berlimpah
atau tidaknya penghasilan tergantung pada usaha dan do’a dari setiap insan yang
menjalani.
Bukan,
aku dan aa’ bukannya ingin ikut merayakan tahun baru China. Hanya saja
pemandangan di luar sana begitu indah, kami ingin membelah malam berdua setelah
kami terpenjara dalam rumah sendiri.
Benar
apa kata ibuku, resiko nanti yang menanggung adalah yang menjalani. Senja itu
aku sudah memutuskan untuk tidak berangkat, dan aku telah memberikan kabar pada
aa’. Baik, aa’ berpamitan padaku. Selang beberapa menit, niatku berpaling. Aku
bertekad untuk tetap berangkat dengan izin bapak ibuku, juga berpamitan dengan
adikku. Dengan dua potong baju tahan air melindungi tubuh kecilku dan pelindung
kepala dengan kaca tak berwarna di depan wajahku. Sepotong kain kecil yang
cukup untuk melindungi hidung dan mulutku jika aku menerobos angin. Juga ransel
hitam di punggungku. Aku siap berangkat. Ku cium tangan bapak ibuku, lalu
“assalaamu’alaikum”. Perlahan dua rodaku berputar searah dan motorku mulai
melaju.
Tepat
seperti yang aku takutkan, Guntur telah menjilat- jilat langit biru tua dengan
diiringi nada suaranya yang menakutkan, membuyarkan konsentrasiku. Saat itu
yang bisa ku lakukan adalah menyebut asmaNya dan tetap fokus pada kendaraan yang
ku kuasai.
Tubuhku
bergetar, keringat dingin seakan tak terlihat lagi sebab telah berbaur dengan
air hujan. Di mana aa’?, apakah dia tahu kalau aku akhirnya berangkat?, apakah
dia akan menemuiku di tempat yang telah kita janjikan semalam?. Aku takut,
benar- benar takut. Tetapi berkat dzikir padaNya telah melarungkan ketakutanku
saat itu dan tak terasa motorku terhenti di sebuah rumah kosong dekat lampu
merah yang telah kita janjikan semalam. Sejenak aku bernaung. Hujan masih belum
reda, tapi guntur yang tadi menakut- nakutiku perlahan- lahan ia pergi.
Tanganku
masih kaku untuk mencatat nomor aa’ di ponselku. Beberapa kali ibu jariku
terpeleset ke nomor yang berbeda. Senja merah itu benar- benar dingin, seperti
hatiku saat ini. Sekitar 10 kali aku meneleponnya tanpa ada jawaban. Hari yang
semakin petang membuatku hampir putus asa. Sudah seperempat bagian aku
berjalan, apakah mungkin jika aku kembali pulang ke rumah?. Hal itu hanya akan
menjadi hal yang sia- sia. Ya, aku akan tetap melanjutkan perjalananku tanpa
aa’. Entah, aku tidak tahu kabarnya.
Hatiku
masih berdebar dan tubuhku masih gemetar. Hujan yang masih mengguyur Kota
Kretek ku terobos begitu saja, aku juga tak peduli jika aku mendahului bus- bus
dan truck yang berukuran jumbo di jalan pantura itu. Yang ku pikirkan saat itu
hanyalah bagaimana caranya supaya aku cepat sampai di Semarang sebelum larut
malam. Aku seorang perempuan, banyak ketakutan yang menyala- nyala di otakku.
Entah.
Aku tak tahu. Mengapa tiba- tiba seperti ada tetes air yang mengalir mengikuti
lekuk pipiku. Kali ini sepertinya bukanlah air hujan, sebab helm yang ku
kenakan tertutup rapat. Napasku sedikit tersendat. Tuhan, bagaimana bisa
seorang Nafi’ bisa menangis dalam keadaan seperti ini? Aku sedikit menyesal,
tapi tangisan ini juga tak ingin berhenti. Malah ia semakin bertarung dengan derasnya
hujan surub itu.
Gemuruh
hujan mulai mereda ketika aku terhenti di surau yang sedang dalam tahap
renovasi di daerah Karang Tengah, Demak. Adzan maghrib telah lewat sekitar 15
menit yang lalu. Aku harus bersajak pada Tuhan. Tepat ketika mesin motorku
berhenti bergumam, suara kucing memanggil- manggil dari dalam saku celanaku.
Hehe itu nada dering yang unik untuk panggilan di ponselku. Aa’ku, ya, aa’ ku
memanggil. Betapa diriku kegirangan seperti menjelma kanak- kanak ketika
menerima kabar darinya. Aku sudah menunggu panggilan itu memang.
“Hallo
aa’. Aa’, aa’ di mana? Aku takut a’. Akhirnya ade’ dapat restu dari bapak ibu
untuk berangkat hari ini. Ade’ sekarang sedang shalat maghrib di masjid Karang
Tengah a’. Aa’ sampai mana? Aa’ sudah sampai di kampus ya?”. Kataku tak memberi
celah pada aa’.
Diriku
memang sungguh aneh. Begitu cepatnya mengambil keputusan, juga begitu cepatnya
keputusan itu berganti. Ini memang kekuranganku, semoga ada laki- laki yang
ingin menjadikan kekuranganku ini sebagai tanggungjawab untuknya.
“Ade’?
Aa’ masih shalat di Demak kota ini de’. Untung saja aa’ sempat membuka ponsel
de’. Maaf de’, lepas berangkat tadi sore, ponselnya aa’ masukkan di ransel.
Jadi aa’ sama sekali tak mendengar telpon dari ade’. Kenapa kita jadi balapan
de’? hehe.. Ade’ duluan eh yang menang, tungguin aa’ ya de’. Kita bertemu di
perbatasan Semarang- Demak saja ya. Assalaamu’alaikum.” Jawab aa’ melarungkan
kecemasanku.
Aku
bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya pikiran- pikiran negatifku bisa
terhapuskan. Apa jadinya aku nanti jika aa’ tak tahu kalau aku berangkat?. Kekhawatiranku
memang berlebihan. Sekarang sudah jam tujuh malam. Malam kian larut, tapi aku
bisa menarik gas motorku dengan pelan dan tenang. Hanya 50 km/ jam. Sepuluh
menit kemudian aku sampai di swalayan perbatasan Semarang- Demak. Ada empat
kursi yang kosong, aku memilih satu untuk memanjakan tubuhku.
Dia
datang. Betapa girangnya aku. Andai saja tidak ada orang yang lalu lalang di
tempat perbelanjaan ini, aku pasti akan berlari memeluknya Aku terkadang memang
suka menjelma kanak- kanak ketika sedang antusias. Tapi aku tidak cerewet
seperti perempuan- perempuan pada umumnya.
Sejenak
mata- mata kita bertatapan, saling adu binar. Ada suatu makna yang tersirat di
setiap sudut tarikan mulutnya Aku mengagumi senyum tulus itu.
“Maafkan
aku de’”.
“Aku
yang minta maaf a’”.
“Aku
yang salah de’”.
“Ah..
kita selalu saja seperti ini. Jika tak ada yang mengalah, perdebatan tentang
benar salah ini tak kan kunjung berakhir. Lebih adilnya, dari kita tak ada yang
bersalah. Hehe”.
Dia
kembali melempar senyumnya, senyum manis yang membuatku tersihir.
Rasa
kegirangan telah mengalahkan capek fisik yang seharusnya kita rasakan. Apakah
semua orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan seperti ini?. Tuhan memang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Malam
ini kita akan pergi ke Sham Poo Khong, sebuah klenteng tempat peribadatan orang
China. Kita hanya akan berkunjung di terasnya saja, membelah malam dengan
ilustrasi alam yang alami, menciptakan irama klasik yang menambah romantisme
dalam cerita kita.
Agar
semua ringkas, barang- barang yang membebani termasuk motor, ku kembalikan ke
indekos. Malam ini akan terasa ringan untuk dieja. Aku dan aa’. Hanya kita
berdua, sebab yang lainnya adalah angin.
Angin,
angin. Berhembuslah sesukamu. Di kanan, kiri, atas atau bawah jasad kita. Kita
tidak akan terpengaruh sebab ruh kita adalah satu. Air, air. Mengalirlah
sesukamu. Kita tidak akan berdiri di atasmu sebab engkau bukanlah batu, sebab
kita akan hanyut olehmu. Sungguh, tak ada yang lebih indah dibanding dengan
sajak- sajak Tuhan.
Tak
ada hujan di Semarang, masih kering kerontang. Rupanya, gumpalan cair dalam gas
itu tak ingin bergeser ke kota atlas yang tertanam gedung- gedung menjulang di
tanahnya yang tak gembur.
Sudah
sepi. Barongsai telah dimainkan siang tadi. Malam ini hanya ada ritual orang-
orang China dan iringan nada kecapi di dalam klenteng.
“Apa
kita masih akan berada di sini?, bagaimana kalau kita mengeksplor satu tempat
lagi setelah ini? Malam sepertinya masih panjang, ia masih girang untuk dieja
a’”. Pintaku padanya.
Ia
menuruti apa kataku, entah sebab ia jenuh ataukah hanya ingin menyenangkan aku.
Aku tak tahu. Kita pergi dari keriuhan bangunan tua berwarna merah itu. Pergi
ke arah timur, lalu belok ke utara. Ada sungai di sana.
Dia
bertanya padaku sebelum benar- benar terhenti, “Maukah singgah sejenak di sini
sebelum kita pulang?”. Banjir Kanal namanya. Ya, aku menerima tawaran itu.
Malam
ini adalah kali pertama tangan hangatnya menggandeng tanganku yang lemah.
Semakin erat dan semakin lekat. Aku membalas genggamnya. Lalu kita duduk di
tepi sungai yang mengalir tenang. Kita bercerita, banyak. Tak akan selesai
dalam semalam jika ceritanya ditulis. Aku dan aa’, sepasang kekasih yang masih
linglung dalam gandengan tangan.
***