Social Icons

Pages

Tuesday, 14 June 2016

Tadarus Puisi, Bersastra dalam Ramadhan



            Sebuah sastra pasti sarat dengan penulisan maupun pertunjukan. Para penikmat sastra akan memilih bentuk sastra yang berbeda- beda untuk memuaskan batin mereka. Sastra penulisan hanya disajikan dalam bentuk rangkaian huruf yang tercetak maupun ditulis, dinikmati dengan mata. Sedangkan sastra pertunjukan akan terasa lebih hangat sebab sastra ini disajikan dalam bentuk media audio visual. Tentu keduanya tak terlepas dari rasa si penulis, pembaca maupun penikmat.
            Puisi, salah satu karya sastra yang banyak diminati banyak orang sebab bentuknya yang lebih simpel daripada karya sastra lainnya. Istimewanya, diksi- diksi yang digunakan dalam penciptaan puisi lebih mengarah pada simbol- simbol. Sebuah puisi tidak dapat dimaknai secara subjektif, karena yang benar- benar mendalami makna dari puisi tersebut adalah si penulis.
            Teater Mimbar UIN Walisongo akan segera menggelar “Tadarus Puisi” di pertengahan bulan suci Ramadhan yang penuh berkah ini dengan sajian yang sedikit berbeda dibandingkan tahun- tahun sebelumnya. Karya- karya puisi yang diadopsi dari terangnya bulan Ramadhan tahun 2016 ini dan beberapa pembacaan karya puisi sastrawan Indonesia seperti Gus Mustafa Bisri, Cak Nun, W.S Rendra. dkk., serta sedikit polesan musik dan musikalisasi puisi oleh warga Teater Mimbar akan berkolaborasi dengan Hasan Tarowan, seorang sastrawan muda yang lahir dari SKM Amanat UIN Walisongo yang akan membedah Kitab Puisi terbitan pertamanya dengan judul “Orang Mabuk di Negeri Mahapetry”.
Acara ini juga akan dimeriahkan oleh beberapa sastrawan Semarang seperti Wikha Setiawan, Abbas Effendy, Nur Rohman dan Istirohah.
Tadarus Puisi bukan sekedar pesta pembacaan puisi. Dengan Tadarus Puisi, para pendarus akan mencoba menghidupkan cercahan kata- kata dalam puisi- puisi yang jika hanya terpajang di secarik kertas akan tetap mati.

 Nafi' Inayana Zaharo
Semarang, 10 Juni 2016

Thursday, 2 June 2016

Malam masih girang untuk dieja, dan kita akan membelahnya bersama…





Malam masih girang untuk dieja,
dan kita akan membelahnya bersama…


Benakku telah dimainkan oleh dua pilihan. Kedatangan senja nampak semakin jelas, apalagi rintik- rintik hujan yang jatuh dari langit biru tua membuat kanal atap rumahku.
“Berangkat, tidak, berangkat, tidak. Bagaimana pak, bu?. Semuanya sudah siap, mas Ulin juga sudah menunggu kabar keberangkatanku. Tapi hujan di luar sana begitu deras. Aku takut jika di pertengahan ladang padi nanti akan ada guntur yang menyambar- nyambar”.
Ibuku menyerahkan keputusannya padaku, kata beliau aku yang akan menjalani resiko di perjalanan nanti. Jadi atau tidaknya berangkat ke Semarang tergantung pada nyala api dalam diriku. Dan bapakku hanya menyuruhku berdo’a.
Aku sempat ragu dengan keputusanku pada senja yang hampir saja menjelma malam itu. Bagaimana tidak? Aku akan bertemu dengan aa’ setelah perjalanan kurang lebih 45 menit melewati jalan tengah sawah dengan cuaca yang mengerikan itu. Tapi jika aku berangkat esok tak ada yang menemaniku.
Hari ini adalah hari tahun baru China, di mana orang- orang China merayakan hari keberuntungannya itu. Konon, jika hari itu turun hujan, maka akan berlimpah pula ekonomi mereka. Berbeda dengan pandangan agama yang ku anut saat ini, di mana aku diajarkan bahwa semua hari adalah baik untuk mencari rizqi. Berlimpah atau tidaknya penghasilan tergantung pada usaha dan do’a dari setiap insan yang menjalani.
Bukan, aku dan aa’ bukannya ingin ikut merayakan tahun baru China. Hanya saja pemandangan di luar sana begitu indah, kami ingin membelah malam berdua setelah kami terpenjara dalam rumah sendiri.
Benar apa kata ibuku, resiko nanti yang menanggung adalah yang menjalani. Senja itu aku sudah memutuskan untuk tidak berangkat, dan aku telah memberikan kabar pada aa’. Baik, aa’ berpamitan padaku. Selang beberapa menit, niatku berpaling. Aku bertekad untuk tetap berangkat dengan izin bapak ibuku, juga berpamitan dengan adikku. Dengan dua potong baju tahan air melindungi tubuh kecilku dan pelindung kepala dengan kaca tak berwarna di depan wajahku. Sepotong kain kecil yang cukup untuk melindungi hidung dan mulutku jika aku menerobos angin. Juga ransel hitam di punggungku. Aku siap berangkat. Ku cium tangan bapak ibuku, lalu “assalaamu’alaikum”. Perlahan dua rodaku berputar searah dan motorku mulai melaju.
Tepat seperti yang aku takutkan, Guntur telah menjilat- jilat langit biru tua dengan diiringi nada suaranya yang menakutkan, membuyarkan konsentrasiku. Saat itu yang bisa ku lakukan adalah menyebut asmaNya dan tetap fokus pada kendaraan yang ku kuasai.
Tubuhku bergetar, keringat dingin seakan tak terlihat lagi sebab telah berbaur dengan air hujan. Di mana aa’?, apakah dia tahu kalau aku akhirnya berangkat?, apakah dia akan menemuiku di tempat yang telah kita janjikan semalam?. Aku takut, benar- benar takut. Tetapi berkat dzikir padaNya telah melarungkan ketakutanku saat itu dan tak terasa motorku terhenti di sebuah rumah kosong dekat lampu merah yang telah kita janjikan semalam. Sejenak aku bernaung. Hujan masih belum reda, tapi guntur yang tadi menakut- nakutiku perlahan- lahan ia pergi.
Tanganku masih kaku untuk mencatat nomor aa’ di ponselku. Beberapa kali ibu jariku terpeleset ke nomor yang berbeda. Senja merah itu benar- benar dingin, seperti hatiku saat ini. Sekitar 10 kali aku meneleponnya tanpa ada jawaban. Hari yang semakin petang membuatku hampir putus asa. Sudah seperempat bagian aku berjalan, apakah mungkin jika aku kembali pulang ke rumah?. Hal itu hanya akan menjadi hal yang sia- sia. Ya, aku akan tetap melanjutkan perjalananku tanpa aa’. Entah, aku tidak tahu kabarnya.
Hatiku masih berdebar dan tubuhku masih gemetar. Hujan yang masih mengguyur Kota Kretek ku terobos begitu saja, aku juga tak peduli jika aku mendahului bus- bus dan truck yang berukuran jumbo di jalan pantura itu. Yang ku pikirkan saat itu hanyalah bagaimana caranya supaya aku cepat sampai di Semarang sebelum larut malam. Aku seorang perempuan, banyak ketakutan yang menyala- nyala di otakku.
Entah. Aku tak tahu. Mengapa tiba- tiba seperti ada tetes air yang mengalir mengikuti lekuk pipiku. Kali ini sepertinya bukanlah air hujan, sebab helm yang ku kenakan tertutup rapat. Napasku sedikit tersendat. Tuhan, bagaimana bisa seorang Nafi’ bisa menangis dalam keadaan seperti ini? Aku sedikit menyesal, tapi tangisan ini juga tak ingin berhenti. Malah ia semakin bertarung dengan derasnya hujan surub itu.
Gemuruh hujan mulai mereda ketika aku terhenti di surau yang sedang dalam tahap renovasi di daerah Karang Tengah, Demak. Adzan maghrib telah lewat sekitar 15 menit yang lalu. Aku harus bersajak pada Tuhan. Tepat ketika mesin motorku berhenti bergumam, suara kucing memanggil- manggil dari dalam saku celanaku. Hehe itu nada dering yang unik untuk panggilan di ponselku. Aa’ku, ya, aa’ ku memanggil. Betapa diriku kegirangan seperti menjelma kanak- kanak ketika menerima kabar darinya. Aku sudah menunggu panggilan itu memang.
“Hallo aa’. Aa’, aa’ di mana? Aku takut a’. Akhirnya ade’ dapat restu dari bapak ibu untuk berangkat hari ini. Ade’ sekarang sedang shalat maghrib di masjid Karang Tengah a’. Aa’ sampai mana? Aa’ sudah sampai di kampus ya?”. Kataku tak memberi celah pada aa’.
Diriku memang sungguh aneh. Begitu cepatnya mengambil keputusan, juga begitu cepatnya keputusan itu berganti. Ini memang kekuranganku, semoga ada laki- laki yang ingin menjadikan kekuranganku ini sebagai tanggungjawab untuknya.
“Ade’? Aa’ masih shalat di Demak kota ini de’. Untung saja aa’ sempat membuka ponsel de’. Maaf de’, lepas berangkat tadi sore, ponselnya aa’ masukkan di ransel. Jadi aa’ sama sekali tak mendengar telpon dari ade’. Kenapa kita jadi balapan de’? hehe.. Ade’ duluan eh yang menang, tungguin aa’ ya de’. Kita bertemu di perbatasan Semarang- Demak saja ya. Assalaamu’alaikum.” Jawab aa’ melarungkan kecemasanku.
Aku bisa bernapas lega sekarang. Setidaknya pikiran- pikiran negatifku bisa terhapuskan. Apa jadinya aku nanti jika aa’ tak tahu kalau aku berangkat?. Kekhawatiranku memang berlebihan. Sekarang sudah jam tujuh malam. Malam kian larut, tapi aku bisa menarik gas motorku dengan pelan dan tenang. Hanya 50 km/ jam. Sepuluh menit kemudian aku sampai di swalayan perbatasan Semarang- Demak. Ada empat kursi yang kosong, aku memilih satu untuk memanjakan tubuhku.
Dia datang. Betapa girangnya aku. Andai saja tidak ada orang yang lalu lalang di tempat perbelanjaan ini, aku pasti akan berlari memeluknya Aku terkadang memang suka menjelma kanak- kanak ketika sedang antusias. Tapi aku tidak cerewet seperti perempuan- perempuan pada umumnya.
Sejenak mata- mata kita bertatapan, saling adu binar. Ada suatu makna yang tersirat di setiap sudut tarikan mulutnya Aku mengagumi senyum tulus itu.
“Maafkan aku de’”.
“Aku yang minta maaf a’”.
“Aku yang salah de’”.
“Ah.. kita selalu saja seperti ini. Jika tak ada yang mengalah, perdebatan tentang benar salah ini tak kan kunjung berakhir. Lebih adilnya, dari kita tak ada yang bersalah. Hehe”.
Dia kembali melempar senyumnya, senyum manis yang membuatku tersihir.
Rasa kegirangan telah mengalahkan capek fisik yang seharusnya kita rasakan. Apakah semua orang yang sedang jatuh cinta akan merasakan seperti ini?. Tuhan memang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Malam ini kita akan pergi ke Sham Poo Khong, sebuah klenteng tempat peribadatan orang China. Kita hanya akan berkunjung di terasnya saja, membelah malam dengan ilustrasi alam yang alami, menciptakan irama klasik yang menambah romantisme dalam cerita kita.
Agar semua ringkas, barang- barang yang membebani termasuk motor, ku kembalikan ke indekos. Malam ini akan terasa ringan untuk dieja. Aku dan aa’. Hanya kita berdua, sebab yang lainnya adalah angin.
Angin, angin. Berhembuslah sesukamu. Di kanan, kiri, atas atau bawah jasad kita. Kita tidak akan terpengaruh sebab ruh kita adalah satu. Air, air. Mengalirlah sesukamu. Kita tidak akan berdiri di atasmu sebab engkau bukanlah batu, sebab kita akan hanyut olehmu. Sungguh, tak ada yang lebih indah dibanding dengan sajak- sajak Tuhan.
Tak ada hujan di Semarang, masih kering kerontang. Rupanya, gumpalan cair dalam gas itu tak ingin bergeser ke kota atlas yang tertanam gedung- gedung menjulang di tanahnya yang tak gembur.
Sudah sepi. Barongsai telah dimainkan siang tadi. Malam ini hanya ada ritual orang- orang China dan iringan nada kecapi di dalam klenteng.
“Apa kita masih akan berada di sini?, bagaimana kalau kita mengeksplor satu tempat lagi setelah ini? Malam sepertinya masih panjang, ia masih girang untuk dieja a’”. Pintaku padanya.
Ia menuruti apa kataku, entah sebab ia jenuh ataukah hanya ingin menyenangkan aku. Aku tak tahu. Kita pergi dari keriuhan bangunan tua berwarna merah itu. Pergi ke arah timur, lalu belok ke utara. Ada sungai di sana.
Dia bertanya padaku sebelum benar- benar terhenti, “Maukah singgah sejenak di sini sebelum kita pulang?”. Banjir Kanal namanya. Ya, aku menerima tawaran itu.
Malam ini adalah kali pertama tangan hangatnya menggandeng tanganku yang lemah. Semakin erat dan semakin lekat. Aku membalas genggamnya. Lalu kita duduk di tepi sungai yang mengalir tenang. Kita bercerita, banyak. Tak akan selesai dalam semalam jika ceritanya ditulis. Aku dan aa’, sepasang kekasih yang masih linglung dalam gandengan tangan.
***
 
Blogger Templates