Social Icons

Pages

Saturday, 24 May 2014

AUTOBIOGRAFI




GORESAN TINTA SANG PERAJUT KATA

            Nama saya adalah Nafi’ Inayana Zaharo. Saya akrab dipanggil Iin oleh keluarga saya dan teman-teman waktu kecil saya. Namun, semenjak saya duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama mayoritas teman-teman saya memanggil saya Nafi’. Saya dilahirkan oleh malaikat tanpa sayap saya yang biasa saya panggil “Mama” di desa kecil yang terkenal dengan nama desa Pesagi, kecamatan Kayen, kabupaten Pati pada tanggal 24 Juli tahun 1996. Saya mempunyai ciri khas bergigi kelinci, bermata sayu, beralis tipis, berhidung tidak mancung dan berambut ikal. Mas’ud, nama ayah saya yang senantiasa telah menghidupi saya dan merelakan tenaga serta waktunya menjadi seorang pejuang devisa negara demi kesuksesan saya mulai dari pertama melihat dan berkenalan dengan indahnya dunia ini sampai sekarang saya yang masih mencoba mencari cara bagaimana menaklukkan dunia. Sun’ah, nama ibu saya yang senantiasa tulus merawat dan mengerahkan semua keringat darah beliau bagi saya, bagi ketentraman hidup saya.
Si Kecil bukan Hanya Bisa Merangkak
            Ketika usia saya baru menginjak 4 tahun, saya merengek meminta sekolah di TK yang berada di daerah kecamatan Kayen. Ketika itu saya sangat bersemangat untuk memulai menuntut ilmu melalui perantara sekolah. Lucunya, saat itu saya pernah berlaku konyol menyusul paman saya yang baru menginjak kelas 6 SD ke sekolahnya dan duduk di depan gerbang sekolah paman saya dengan hanya mengenakan rok selutut beserta kaos dalam. Ada salah satu guru di sekolah tersebut bertanya pada saya: “Lho, nak. Mau apa di sini?”. Dengan ringan dan polos saya menjawab pertanyaan dari beliau bahwa saya ingin sekolah dengan paman saya. Karena saat itu adalah pertengahan semester, ibu saya mendaftarkan saya di Madrasah Ibtidaiyah Raudlatul Muta’allimin Pesagi pada semester berikutnya yang merupakan pembukaan semester awal peserta didik baru tahun 2001. Jadi saya langsung meloncat di Madrasah Ibtidaiyyah tanpa melewati Play Group/PAUD/TK/RA .Saya masuk di MI ketika berumur 5 tahun, bisa dikatakan terlalu muda bagi peserta didik yang menduduki kelas satu MI. Ketika umur itu juga ibu saya dianugerahi Allah SWT seorang anak perempuan yang diberi nama Wahyu Shintani. Kebetulan ibu saya mengajar kelas dua di MI tersebut. Sebelum saya menduduki bangku sekolah, ibu saya selalu mengajari saya bagaimana cara membaca, menulis dan cara menghormati orang lain. Menurut cerita dari ibu saya, ketika saya berusia 4 tahun saya sudah bisa membaca al-Qur’an meskipun belum bisa fashih dalam membacanya. Ibu saya pernah memberi saran kepada wali kelas saya saat itu bahwa saya sebaiknya jangan dinaikkan ke kelas dua terlebih dahulu, karena usia saya yang masih terlalu muda untuk menjalani hal itu. Takutnya jika saya belum bisa beradaptasi dengan lingkungan sekolah dan tidak mampu mengikuti mata pelajaran yang diajarkan karena memori otak saya belum mampu mencerna pelajaran sebaik teman-teman saya yang umurnya tepat menduduki angkatan saya sejak itu. Namun wali kelas saya berkata lain bahwa saya harus dinaikkan ke kelas selanjutnya karena saya sudah mampu mengikuti segala mata pelajaran yang diajarkan seperti membaca, menulis dan lain-lain. Bahkan saya pada saat itu mampu meraih peringkat satu di dalam kelas. Begitu pula seterusnya sampai saya lulus MI pun tidak terlepas dari gelar peraih peringkat tiga besar dalam raport sekolah saya.

As-Syifa’ itu Pasti
            Setelah saya menyelesaikan sekolah di MI Raudlatul Muta’allimin Pesagi pada tahun 2007, saya melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi yakni di MTs Walisongo Kayen yang mulai aktif sekolah pada tanggal 12 Juli 2007. Saya dikenal sebagai anak yang pendiam. Waktu kelas VII MTs saya pernah menderita penyakit typhus. Sebelumnya, ibu saya mengetahui bahwa saya hanya menderita penyakit demam biasa. Ibu  membawa saya ke bidan terdekat di daerah saya untuk memeriksakan dan mengobati saya. Bu bidan memberi saya beberapa tablet obat dengan jenis yang berbeda. Ketika itu usiaku masih tergolong anak-anak yakni umur 11 tahun. Dosis yang diberikan oleh bu bidan jika ditotal, sehari saya mengkonsumsi obat sebanyak 18 butir, terlalu banyak bagi anak usia 11 tahun. Ketika saya baru menghabiskan setengah dari kumpulan obat tersebut, saya merasa aneh dengan diri saya. Leher saya seperti ada yang menarik ke belakang dan mata saya tidak bisa ditutup. Seketika saya berkata kepada ibu saya tentang penyakit yang saya alami dengan kondisi seperti itu. Tanpa menunggu lama ibu saya langsung membawa saya ke rumah sakit terdekat dan saya langsung masuk UGD ketika itu. Setengah sadar saya merasakan ada sesuatu yang dimasukkan dalam hidung saya, ternyata selang oksigen untuk membantu pernapasan saya. Dokter berkata pada keluarga saya bahwa saya overdosis obat. Ketika itu juga dokter memberi saya satu butir obat kecil kemudian saya meminumnya. Entah itu obat penenang atau apa yang jelas setelah minum obat tersebut saya sudah tidak sadarkan diri dan saat saya membuka mata saya sudah berada diatas bangsal ruang rawat di rumah sakit tersebut. Setelah diambil sample darah saya dan dideteksi penyakit apa yang saya derita, akhirnya saya divonis menderita penyakit typhus. Saya dirawat di rumah sakit selama 4 hari dan setelah itu saya tarak atau berhenti mengkonsumsi pantangan-pantangan yang menyebabkan berkembangnya penyakit tersebut selama kurang lebih satu tahun. Dengan izin Allah SWT sampai sekarang saya tidak pernah merasakan penyakit itu kembali merajai tubuh saya. Alhamdulillah.
Islam Mengajarkan Keajaiban Goresan Tinta
            Dalam sejarah perjuangan saya di medan perang dalam melawan kebodohan ketika MTs, bisa dikatakan ada kenaikan yang drastis pada prestasi saya. Ketika kelas VII dan VIII saya tidak pernah tercantum dalam barisan siswa peraih peringkat sepuluh besar. Namun ketika kelas IX semester satu prestasi saya naik menjadi peringkat enam di kelas dan semester dua saya menjadi bintang kelas yang meraih peringkat satu pada masa itu. Dan ketika ujian nasional MTs saya mendapatkan nilai tertinggi ke tiga di sekolah saya. Mungkin hanya sebuah hal biasa bagi mereka yang lebih dari saya, setidaknya saya mampu menyiratkan dan menyuratkan upaya saya dalam menuntut ilmu di dalam cerita saya dan mampu membuat orang tua saya tersenyum melihat semangat belajar saya yang semakin berkobar. Sedikit cerita, ketika awal semester kelas IX MTs sekolah saya mengadakan class meeting bagi semua siswa MTs Walisongo. Kelas saya pun mencari delegasi untuk ikut serta dalam lomba-lomba yang diadakan pada saat class meeting. Saya sempat berkata rendah, saya bisa apa?. Namun saya sadar kata-kata itu salah. Salah satu teman saya menunjuk saya untuk mengikuti lomba kaligrafi. Saya terkejut, apa saya bisa?. Saya tidak pernah belajar dan menulis kaligrafi tapi saya dituntut untuk melakukan hal itu. Karena itu sebuah amanat saya terima dan harus melakukan hal itu. Ketika hari lomba, saya tidak ada persiapan sama sekali seperti membawa kertas dan alat tulis, saya juga belum mempelajari ilmunya. Datang ke tempat perlombaan pun telat. Yang membuat saya terkejut adalah ketika pengumuman pemenang lomba yang diumumkan pada saat upacara rutin hari Senin ketika itu, nama saya dipanggil sebagai pemenang pertama cabang lomba kaligrafi. Mulai sejak itu, saya menemukan salah satu bakat saya di bidang kaligrafi dan sekarang saya menekuninya. Saya juga pernah mengikuti lomba kaligrafi tingkat kabupaten yang mewakili sekolah saya, namun Allah belum mengizinkan saya untuk menyandang gelar juara. Semua itu adalah hasil jerih payah saya yang tak pernah lelah mengayuh sepeda onthel demi mencari ilmu di sekolah meskipun teman-teman saya gengsi mengendarai kendaraan seperti saya. Seperti kata-kata yang sering dilontarkan anak muda zaman sekarang “Aku yo cuek”.
Seni itu Indah, Seni itu Berkah
            Kelulusan ujian nasional MTs pada tahun 2010 membawakan nilai yang cukup membanggakan. Saya melanjutkan sekolah saya di MAN 01 Pati pada tanggal 12 Juli 2010. Mulai sejak itu saya dilatih untuk hidup mandiri oleh orang tua saya. Saya tinggal di kost milik guru saya di MAN 01 Pati. Saya beruntung berada di sana, walaupun itu sebuah kost namun banyak sekali pelajaran dan pengalaman yang saya alami. Di sana bukanlah kost yang bebas, bapak dan ibu kost keduanya guru saya di MAN 01 Pati. Setiap maghrib, shubuh dan isya’ diwajibkan untuk jama’ah sholat di masjid, sedangkan dhuhur diwajibkan jama’ah sholat di masjid oleh sekolah. Selesai sholat harus membaca al-Qur’an di masjid, jika kami melanggar kami akan mendapat hukuman. Setiap hari Rabu ada evaluasi dan pembelajaran makharijul huruf dan mauidzatul khasanah singkat oleh guru yang diambil dari luar. Setiap malam hari Jum’at ada agenda rutin dziba’an yang diisi oleh anak kost. Setiap malam kami belajar bersama dan terkadang minta tutor dari bapak kost saya yang menjabat menjadi guru matematika, pak Qodri namanya. Kami tidak diperbolehkan keluar malam kecuali untuk belajar di rumah guru saya, itupun rumahnya yang berada disekitar kost saya. Ketika kelas X saya mengikuti ekstrakulikuler pramuka yang diwajibkan oleh sekolah dan seni tari tradisional. Setiap akhirussanah saya dan teman-teman saya dipentaskan menarikan beberapa tarian tradisional antara lain tarian Goyang-goyang, tarian Robyong, tarian Soyong, dan tarian Mayong. Kelas X saya mendapatkan peringkat ke 3 di dalam kelas, kelas XI menduduki peringkat ke 4, dan kelas XII saya menduduki peringkat ke 2 di kelas. Ketika ujian nasional saya mendapatkan nilai terbaik se prodi IPA. Alhamdulillah.
Secercah Harapku pada Pena
            Saya mengikuti ekstrakulikuler jurnalistik ketika saya duduk di kelas XI semester 2 dan berhenti dari kesibukan luar sekolah ketika kelas XII untuk fokus dalam ujian. Saya suka menulis mulai dari MTs. Karya pertama saya adalah cerpen yang berjudul “Gara-gara Es Teh Dua Gelas”, meskipun saya telah lupa di mana letak teks yang pernah saya tulis tersebut setidaknya saya masih mengingat bagaimana alur ceritanya. Dalam satu semester itu saya menyumbang beberapa karya demi terbitnya Majalah Insani oleh MAN 01 Pati, diantaranya adalah cerpen yang berjudul “Brownies Terasi Lezat”, laporan utama yang berjudul “Buah Tangan Olimpiade Biologi Jawa Tengah” dan beberapa pertanyaan Teka Teki Silang bahasa Arab. Saya mengasah kemampuan menulis saya lewat menggoreskan setiap cerita saya dengan tinta di buku diary. Cara itu cukup membantu saya untuk mengumpulkan banyak diksi guna dijadikan bekal dalam menuliskan sebuah karya tulis. Saya juga menuliskan banyak puisi di dalam buku diary saya, namun masih belum enak di baca. Sampai sekarang saya masih tetap gemar menulis beberapa karya tulis seperti essay, artikel, cerpen, puisi dan lain-lain. Beberapa judul karya tulis yang pernah saya tulis adalah Debur Ombak, Ada, Jelmaan Suram, Asa yang Fana, Air menangis karena terabaikan, Implementasi Kecerdasan Kenabian menuju Insan Kamil Berwawasan Modern, Dendamku Romusa, Mimpi Sang Pujangga, Gejolak Penjara, Fina’s Birthday, Duka yang Terluka, Hitammu, Ketika Langkah Tak Merasa Lelah, Kodrat Cinta, Sendu, Tak Guna, Sandiwara Bangsawan Lancung, Langit dan Kami pun menangis dan lain-lain. Saya ingin mendapat julukan sebagai Sang Perajut Kata karena itu adalah mimpi saya, menjadi seorang penulis. Semua karya itu saya arsipkan di blog pribadi saya http://artnafiin.blogspot.com. Jika saya arsipkan di dalam memory card atau yang lain bisa saja filenya terformat ataupun hilang, namun jika di blog saya bisa membukanya sewaktu-waktu bahkan sampai nanti saya tua untuk mengenang dan memberi motivasi bagi anak cucu saya kelak. Beberapa dari karya tulis saya pernah saya ikut sertakan lomba dalam berbagai tingkatan, namun belum membuahkan hasil yang memuaskan. Tak apa, yang terpenting adalah saya masih tetap bersemangat menulis dan setidaknya saya berani mencoba sesuatu meskipun itu gagal. Karena saya yakin bahwa sebuah kegagalan lah yang mengantar saya menuju ke gerbang kesuksesan. Saya juga berhobbi melukis dan menggambar. Bahkan teman-teman saya selalu heran dengan saya yang tak pernah mempunyai buku kosong dan rapi, setiap sela kertas kosong selalu terdapat gambar di sana. Di MAN 01 Pati saya dijuluki sebagai anak kecil yang kreatif. Setiap benda yang biasanya dibuang selalu saya jadikan sesuatu yang bermanfaat, seperti nama saya Nafi’. Hehe J. Di kamar saya banyak sekali hiasan-hiasan buah karya tangan saya seperti figura berbentuk kucing dua dimensi yang terbuat dari bulu bunga kamboja dan serbuk kayu, korden yang terbuat dari kain flanel dan pita kain berbagai macam bentuk unik seperti boneka, daun, emoticon, buah dan lain-lain dan miniatur bunga yang terbuat dari sedotan bekas dan diselipkan di dahan kayu serut yang dicat hijau supaya warnanya lebih hidup. Saya juga pernah belajar menjahit dari ibu saya dan bibi saya seperti membuat rok, gaun, baju dan lain-lain. Saya pernah membantu bibi saya menata parcell pernikahan dengan berbagai bentuk dan lumayan saya mendapatkan uang saku dari kreatifitas tersebut.
Sang Perajut Kata Merajut Cinta
            Dalam hal cinta, pertama kali saya merasakannya ketika umur 14 tahun tepatnya ketika saya duduk di kelas X MA, sewajarnya pubertas lah. Cinta pertama saya bukanlah pacar pertama saya dan pacar pertama saya bukanlah cinta pertama saya. Cinta kedua adalah pacar kedua saya. Saya tidak menyebutkan namanya di sini karena mungkin ini tidak perlu dipublikasikan. Yang jelas sebelumnya saya hanya mengaguminya kemudian berbaur menjadi sebuah cerita percintaan. Yang membuat saya terkagum dengannya dan terkenang adalah dia yang tidak pernah berani menyentuh wanita yang ia cintai. Kami menjalin cinta suci dan hubungan kami membawa prestasi yang cemerlang. Namun ketika kelas XII kami berpisah karena saya akan fokus ke ujian. Tapi sekarang ia sudah mendapatkan pengganti saya yang mungkin jauh lebih baik dari saya. Rasa itu mungkin sudah hilang sekarang tetapi saya belum menemukan yang tepat setelah dia. Hanya rasa kagum terhadap seseorang, bukanlah rasa cinta yang saya rasakan.
Teruslah Tersenyum dalam Harap dan Do’a, Maka kan Kau Temukan Sejati dalam Dirimu
            Saya lulus dari MAN 01 Pati pada bulan Mei tahun 2013. Kemudian saya mendaftar kuliah dengan jalur SNMPTN di Universitas Negeri Sebelas Maret mengambil jurusan Kimia Murni dan Pendidikan Biologi, yang kedua di Universitas Negeri Semarang mengambil jurusan Biologi Murni dan Pendidikan Kimia. Namun saya belum beruntung dan belum diizinkan kuliah di sana. Sebelumnya cita-cita saya ingin kuliah di Institut Seni Indonesia mengambil jurusan Seni Rupa dan di Universitas Negeri Sebelas Maret mengambil jurusan Kriya Seni. Namun kalimat ini yang selalu saya ingat “Ridhollaahu birru ridhool waa lidaini”, ridho Allah tergantung pada ridho kedua orang tua. Orang tua saya tidak mengizinkan saya kuliah di bidang seni melainkan di bidang exact. Mungkin itu adalah jalan cerita saya. Saya belum di terima mendaftar kuliah di universitas-universitas favorit tersebut. Kemudian saya mendaftar kuliah dengan jalur SBMPTN pilihan pertama di Universitas Negeri Semarang mengambil jurusan Kimia Murni dan Pendidikan Matematika, pilihan kedua di Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang mengambil jurusan Tadris Kimia. Ternyata takdir saya diterima kuliah di Perguruan Tinggi Islam dengan mengambil jurusan Tadris Kima, yaitu di IAIN Walisongo Semarang. Mungkin keluarga saya menginginkan saya menuntut ilmu umum dan agama, maka dari itu do’a mereka dikabulkan dan sekarang saya menekuni kuliah di IAIN Walisongo Semarang sampai saat ini. Saya tinggal di Ma’had Walisongo yang diperuntukkan bagi mahasiswa baru IAIN Walisongo Semarang selama satu tahun. Dari sini saya mendapatkan sebuah pencerahan dari K.H. Fadlolan Musyaffa’, Lc. M.A.
Ilmu Adalah Pengantar Surga
            Saya belum puas jika hanya duduk di kelas mempelajari mata kuliah yang ada. Karena saya selalu ingat dengan kalimat yang diucapkan oleh kedua orang tua saya: “Carilah ilmu sebanyak mungkin nak selagi kami masih mampu untuk membiayai kalian, yang terpenting adalah pelajaran inti harus kamu tekuni. Yang lain hanya menjadi sampingan. Teruslah berusaha dan jangan patah semangat, do’a kami menyertai kalian.”. Subhaanallah. Betapa beruntungnya kami yang mempunyai orang tua seperti mereka yang selalu memberi motivasi dan semangat bagi anak-anaknya dalam menuntut ilmu. Dari sanalah tonggak semangat hidup saya. Saya mengikuti beberapa Unit Kegiatan Mahasiswa di kampus IAIN Walisongo Semarang, diantaranya adalah UKMF Bimbingan Ilmu Tilawah al-Qur’an (UKMF BITA), UKMI Teater Mimbar dan ikut andil berorganisasi di Himpunan Mahasiswa Kimia (HIMMAKI). Di sini saya masih mencari sebuah cara bagaimana kuliah inti saya tidak terbengkalai, Teater Mimbar tetap jalan karena segala yang dipelajari di dalamnya adalah hobi saya yaitu musik, melukis, sastra, tari dan lain-lain, kemudian UKM BITA bisa saya tekuni karena saya menganggap  yang dipelajari di dalamnya merupakan bekal nanti ketika saya hidup bermasyarakat seperti Tilawah, Rebana, Kaligrafi dan dziba’an, lalu berorganisasi di HIMMAKI dapat saya kembangkan. Namun saya masih tetap berpegang teguh pada prinsip saya yaitu “Semua memang terserah Tuhan, namun Dia mendahulukan jawaban bagi jiwa yang berupaya”. Jadi, asalkan saya mau berusaha, insyaAllah nanti hasilnya pun akan baik pula. Saya ingin menjadi seorang kimiawan muslim, seorang penulis, seorang pelukis, dan pecinta seni Islam. Namun cita-cita utama saya adalah menjadi Istri yang sholehah bagi suami saya kelak. Itu sudah mewakili semuanya termasuk membahagiakan kedua orang tua. J
KESAN-KESAN KULIAH PSI
Alhamdulillah. Mengikuti perkuliahan mata kuliah Pengantar Studi Islam bersama bapak M. Rikza Chamami, M.S.I memberi beberapa pencerahan bagi hidup saya. Saya menjadi lebih mengerti dan memahami Islam dalam beberapa konteks. Bukan Islam yang marah, melainkan Islam yang ramah. Di sini saya mempelajari bagaimana memaknai Islam pada era sekarang. Implementasi metode pembelajaran yang digunakan beliau pun menjadi sebuah motivasi bagi saya. Terutama saya memandang bahwa akan saya jadikan salah satu metode saya dalam mengajar nanti setelah lulus dari IAIN Walisongo. Menghidupkan suasana kelas yang tidak mempengaruhi konsentrasi dalam memahami apa yang diajarkan. Pengantar Studi Islam membekalkan kami pengetahuan tentang Islam secara komprehensif. Fungsinya untuk menjadikan kami sarjana muslim yang cakap dalam hal akademik dan interaktif terhadap masyarakat dengan wawasan Islam yang kami miliki. Kata-kata beliau yang masih teringat dalam benak saya yaitu “Guru spiritual saya adalah realitas, sedangkan guru realitas saya adalah spiritualitas”. Terimakasih pak Rikza atas ilmu yang engkau tuturkan pada kami.

ILMU YANG SAYA DAPATKAN DAN HARAPAN SAYA DARI KULIAH PSI
            Saya menjadi lebih paham tentang Islam daripada sebelumnya dan saya mendapatkan banyak sekali motivasi-motivasi dari pak Rikza. Saya juga merekam banyak diksi baru dari setiap kata yang disampaikan oleh beliau. Ilmu-ilmu baru selain ilmu tentang Islam pun saya dapatkan dari mengikuti kuliah Pengantar Studi Islam. Saya berharap ilmu-ilmu yang saya dapatkan dari sini tidak hilang begitu saja dan terbuang tanpa makna. Saya ingin membuktikan kepada orang tua saya bahwa saya bisa menjadi anak seperti do’a mereka dalam makna yang tersirat dalam nama yang mereka berikan kepada saya Nafi’ Inayana Zaharo yaitu bunga yang memberikan petunjuk yang bermanfaat bagi kami, yang saya mengerti seperti itu. Dengan cara saya mengamalkan ilmu-ilmu yang saya dapatkan selama hidup saya, setidaknya sedikit makna do’a dari nama saya telah terbukti dimaqbulkan oleh Allah SWT. Aaamiin. Terimakasih ya Allah, terima kasih ayah ibu dan terimakasih juga pak Rikza. J

Friday, 23 May 2014

DEBUR OMBAK



DEBUR OMBAK

 



“Ma, apa benar aku akan menjadi santriwati di sini?”, ujar Naya pada ibunya ketika  ia pertama kali melihat papan yang bertuliskan ‘Pondok Pesantren Putri Ma’had Walisongo’ terpampang lebar dan jelas di depannya. Ia tak percaya bahwa ia akan hidup dalam penjara suci yang sebelumnya tidak pernah dialaminya. Sebenarnya bukan suatu masalah besar bagi Naya jika ia tinggal di penjara suci itu, karena ia pernah tiga tahun hidup pisah dari keluarganya, ia tinggal di kost yang juga mempunyai aturan namun tak melebihi aturan dalam penjara suci.



Senja yang memikat, mematahkan kelelahan sepasang kaki yang melangkah mencari kehangatan, mata sayu yang pernah menahan lelah, dan ini adalah waktunya. Tak seperti pondok pesantren lain, yang boleh mendaftar tanpa ada seleksi penerimaan. Ini yang membuatnya terkagum oleh penjara suci itu, pondok pesantren modern berbasis salaf. Tak semua mahasiswa dapat di terima di sini. Ma’had Walisongo adalah asrama bagi mahasiswa baru IAIN Walisongo. Ilmu agama dan pengetahuan umum yang notabene ditempuh dalam jangka waktu empat tahun, dalam tempo hanya satu tahun dapat diselesaikan di sini. Memang banyak peraturan, namun Naya bertekad “Aku bisa!!!”.



“Bismillaahirrahmaanirrahim, ku awali hari-hariku dengan mengucap basmalah”. Naya bersiap-siap untuk berangkat menuju medan perang, menyiapkan senjata untuk melawan kebodohan. Pagi itu, pagi yang menggetarkan hatinya. Tes seleksi masuk pondok pesantren, ‘ilmu agama dan dua bahasa asing, bahasa Arab dan bahasa Inggris’. Semuanya memang terserah Tuhan, tapi Tuhan mendahulukan jawaban bagi permintaan jiwa yang berupaya.



“Ris, sampai jam segini belum ada pengumuman, dan besok harus sudah menetap di sini jika di terima. Tapi aku belum membawa barang-barangku, kawan. Bagaimana?”. Tanya Naya pada Riris, temannya.



“Aku nggak tau Nay, aku sih sudah menyiapkan payung sebelum hujan. (Tertawa kecil). Kamu sih nggak sekalian dibawa aja tadi. Kan kita nggak capek kalau dah disiapin.”. Jawab Riris.



“Mana aku tau Ris?, kalau tidak ada waktu tenggang sama sekali seperti ini. Aku kira diberi tempo beberapa hari untuk mengambil keputusan dan persiapan menetap.”. Ujar Naya.



Tak selang waktu begitu lama, hasil penyeleksian santriwati baru pun ditempel di dinding pengumuman. Butuh waktu lama mencari satu nama diantara tiga ratus daftar nama yang tercetak di kertas putih itu. Akhirnya, Naya Shofa, di sampingnya tertera kata “LULUS” dengan skor nilai yang tak sempat diperhatikan oleh Naya karena sibuknya memikirkan satu topik yang sering terulang dalam benaknya yaitu pulang, pulang dan pulang. Dia harus menyampaikan berita gembira ini pada ibunya. Tak menghiraukan senja yang terus menyapa, mengambil alih posisi sang mentari yang mengayomi pijakan bumi, dan tak berpikir panjang Naya langsung mengambil alih perjalanan menuju tanah kelahiran, surganya di dunia.



“Assalaamu’alaikum. Ma, aku diterima di Ma’had. Dan hanya ada waktu satu malam untuk persiapan boyong.” Ujar Naya dengan bahasa yang lelah. Bagaimana tidak?. Pukul 05.00 sore berangkat dari Semarang, sampai rumah butuh waktu 4 jam, dan esok harinya sudah harus sampai Semarang kembali sebelum maghrib.



“Wa’alaikumsalam. Kok malam sangat pulangmu, nak?. Satu malam, apa tidak terlalu singkat untuk mempersiapkan semuanya?”. Jawab ibunya.



Dengan tersenyum ringan Naya menjawabnya: “Maaf ma, tadi jam 05.00 sore lebih aku baru berangkat dari Semarang, dan sampai rumah saat ini. InsyaAllah bisa, seadanya dulu.”.



“Oh ya sudah, ayo mama bantu. Kamu tidak lelah, nak?.”. Ujar ibunya.



“Tidak ma, kan mama sendiri yang selalu bilang ke Naya dan Shinta bahwa kita tidak boleh lelah dalam menuntut ilmu, benar kan?.”. Naya tersenyum menjawab pertanyaan malaikat tanpa sayapnya itu. Ibunya pun hanya bisa menjawabnya dengan senyuman kecil tanda sayang pada anak-anaknya.



“Masih ada waktu kurang lebih dua bulan untuk karantina, setelah itu penggunaan bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari di sini sudah mulai aktif.”. Kalimat itu yang selalu teringat dalam benak Naya dan para santriwati Ma’had lainnya. Kalimat ini menjadikan semangat bagi mereka untuk tetap berlatih dalam berbahasa asing. Sebuah tuntutan akan menjadi sebuah kebiasaan baik, apabila seseorang itu menanggapinya dengan baik pula. Peraturan Ma’had aktif jauh sebelum masa perkuliahan dimulai. Mahasiswa yang belum pernah sama sekali menyentuh ‘Madrasah’, mungkin mereka akan menganggap Ma’had adalah suatu penjara yang dapat mematahkan semangat dalam hidupnya. Namun tidak semuanya berpikiran seperti itu. Sebagian mereka menganggap bahwa Ma’had adalah pencerahan bagi hidup mereka, yang merubah hidupnya menjadi lebih baik dari sebelumnya, yang membentuk mereka menjadi insan kamil.



Hari-hari pertama di penjara suci menjadi hari-hari yang dramatis bagi mereka yang manja. Berbeda dengan mereka yang sudah dilatih menjadi anak yang mandiri sejak usia dini, perasaan mereka tentu sangatlah berbeda. Atasan hanya memberikan tugas berat pada karyawan terbaik, dan Tuhan hanya memberikan ujian berat pada manusia terbaik.



Hari pertama kuliah, Naya merasa asing dengan semua teman barunya. Bagaimana tidak?. Teman dari sekolah yang sama hanya ada satu, itupun tak satu jurusan. Tak apa, mulai adaptasi kembali.



“Lho... Kalian kembar?”. Tanya Fitri, teman sekelasnya. Pertama kali yang di kenal Naya adalah Sita. Banyak yang bilang bahwa mereka adalah kembar.



“Apaaa???”.. Jawab mereka serentak, saling memandang satu sama lain dengan ekspresi terkejut.



“Kita baru saja kenal. Aku Naya, ini Sita.”. Jawab Naya kembali.



“Siapa tau kalian kembar yang terpisahkan selama 17 tahun. Dan baru dipertemukan saat ini.”. Ujar Fitri dengan tawa kecilnya.



Sita tak mau kalah untuk menjelaskan pada Fitri, bahwa mereka bukanlah anak kembar. “Hehe.. Tidak Fit. Umur kita aja beda. Aku sudah 19 tahun, sedangkan Naya baru 17 tahun.”.



“Wah.. Naya masih muda sangat?. Kamu tuh seharusnya masih anak SMA tau.”. Canda tawa mewarnai kelas baru mereka. Meski mereka baru saja kenal, namun rasa keharmonisan antar sesama sudah mulai terbentuk.



“Saat usiaku baru saja menginjak 5 tahun, aku sudah menduduki bangku sekolah kelas satu MI. Dan tanpa RA/TK. Sangat belia untuk saat itu.”. Ujar Naya sedikit menceritakan masa kecilnya.



“Kamu dulu dari madrasah?”. Tanya Fitri.



“Iya. Mulai kecil aku dititipkan di Madrasah oleh kedua orang tuaku. Tujuannya supaya aku tidak tertinggal IPTEK dan tetap berlandaskan IMTAQ dalam menuntut ilmu melalui perantara madrasah tersebut.”. Jawab Naya.



“Waaah. Aku baru kali ini menginjak yang namanya institusi Islam.”. Ujar Fitri disahut oleh Sita, “Iya, aku juga.”. Memang mereka baru kali ini menyentuh yang namanya institusi Islam, namun setidaknya mereka mulai mencoba hal baru dalam hidup mereka untuk melakukan perubahan. Dan asalkan ada TEKAD semuanya akan tercapai, bukan?.



Naya tersenyum simpul menanggapi pernyataan mereka. “Tak apa lah, kita masih sama-sama belajar. Aku juga baru saja masuk pondok pesantren, sebelumnya aku anak kost. Belum terbiasa dengan aktifitas para santri. Apa aku bisa menjalaninya?”.



“Kawan, paling tidak kamu sudah ada bekal agama mulai kecil. Kenapa tidak?”. Jawab Sita.



“Oke lah, bismillah.”. Jawab singkat Naya.



Naya mengikuti pelatihan sastra di salah satu UKM di lingkungan kampus. Dia juga membagi waktunya untuk UKM lain dan menjadi pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan. Pernah suatu ketika Nashrul, teman sekelasnya bertanya pada Naya tentang aktifitasnya.



“Nay, boleh tanya tidak?.”. Kata Nashrul.



“Tanya apa mas?.”. Ujar Naya.



“Caramu membagi waktu seperti apa?.”. Tanya Nashrul kembali.



“Bagi waktu?, dalam hal apa?.”. Jawab Naya.



“Kalau kamu ikut menjadi pengurus di tiga organisasi sekaligus apa kamu bisa membagi waktu dengan maksimal?.”. Tanya Nashrul.



“Aku bukan pengurus mas, aku hanya anggotanya saja. Kalau aktifitas bisa seminggu full.”. Sahut Naya.



“Bukankah dapat mengganggu belajarmu?. Aku yang hanya menjadi ketua HMJ sudah kuwalahan seperti ini. Apalagi kamu?”. Nashrul terus bertanya tentang kesibukan Naya. Sampai akhirnya Naya menjawabnya: “Alhamdulillah jangan sampai mas. Di perkuliahan aku belajar, di sini juga belajar. Hanya saja berbeda konteks belajarnya seperti apa dan hal yang dipelajari. Ibuku pernah berkata bahwa anaknya harus mencari ilmu sebanyak mungkin untuk bekal akhirat nanti. Ilmu yang dimaksud di sini adalah ilmu yang dapat menuntun kita pada jalan hidup yang khas dan lurus.”.



“Sip. Aku juga berpikiran seperti itu. Aku salut sama kamu.”. Nashrul tersenyum mendengar pernyataan Naya. Naya pun menjawabnya: “Salutlah pada malaikat tanpa sayapmu yang menghadirkanmu dalam dunia ini, bukan salut denganku.”.



Ketika Naya bermain sastra dengan teman-teman UKM nya, selalu satu hal yang ia ucapkan kalau senja sudah mulai menyapa.



 “Kakak, aku izin pulang ya?. Sudah pukul 17.30 pm. Waktunya daku kembali ke asal.. :D”. Ujar Naya pada salah satu anak Teater Mimbar, UKM di lingkungan kampus. Sudah menjadi tuntutan bahkan habitat mereka untuk mematuhi peraturan Ma’had yang salah satunya yaitu kembali pulang ke Ma’had sebelum jam 17.30 pm.



“Untuk apa sih pulang Ma’had?, di sini aja lebih seru. Kalian di sana seperti di penjara kan?”. Tanya Guntur mempegaruhi Sosom dan Naya.



“Enggak tuh, kami biasa aja. Ya kan Nay?”, jawab Sosom mengelak. Naya hanya menganggukkan kepalanya setuju dengan pendapat Sosom.



Diantara remang-remang senja mereka berjalan pulang menuju penjara suci yang telah mereka cita-citakan. Saatnya mereka berserah diri pada Tuhan. Takbir terangkat, ruku’ terlaksana dan sujud terpasrahkan. Tersenyumlah dalam harap dan do’a maka akan kita temukan sejati dalam diri kita. Salam di penghujung pershalatan merupakan salam menuju kebahagiaan. Para santriwati berbondong-bondong menuju surau untuk menjalankan rukun Islam yang kedua yaitu shalat. Kedamaian merasuk dalam jiwa insan yang berada di sini, walau terkadang mereka mengeluh dengan banyaknya peraturan yang tersurat dan tersirat dalam penjara suci ini.



“Aku mulai lelah dengan segala peraturan di sini. Sebenarnya, aku tiada bosan dan kaget dengan peraturan agama di sini. Namun...”. Ujar Naya bercerita pada temannya, Sosom. Kata-katanya terpenggal, berhenti sejenak bak menahan bendungan air yang hampir jebol. Naya belum sempat meneruskan kata-kata yang diucapkannya dan Sosom langsung menyahutnya. “Lalu, lelah dengan apa?”. Sosom mengerutkan dahinya dan mengangkat alisnya yang istilah Jawanya nanggal sepisan dengan sedikit patah di bagian ujungnya.



“Aku tidak suka dengan waktu pulangnya”. Naya to the point menjawab pertanyaan Sosom. Berhenti sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya kembali. “Kamu dari Semarang hanya butuh perjalanan setengah jam dari sini, sedangkan aku?. Jauh Som. Aku belum bisa puas di rumah kalau hanya diberi waktu dua hari satu malam. Itupun ada potongan untuk perjalanannya. Terserah kalau orang bilang aku ini anak manja. Aku tidak peduli.”



“Sssst... Jangan berbicara seperti itu Nay, nggak baik tau. Jadikan ini sebuah pembelajaran kita untuk menuju kedewasaan. Kamu sendiri lho yang selalu menasehati aku dulu, jangan pernah lelah dengan segala ujian ini. Ujian ini yang akan membawamu ke pintu gerbang kesuksesan. Masih ingat tidak?”. Sahut Sosom mengingatkan Naya yang hampir saja lalai dengan ketekadannya tempo dulu. Naya menundukkan kepalanya. Sembari menahan aliran air matanya yang hampir saja menjebol kantung matanya.



“Sudahlah. Dua belas tahun kamu hidup dalam lingkungan madrasah. Itu bekalmu. Dan tiga tahun kamu hidup tanpa naungan orang tua. Setidaknya itu cukup untuk menuntunmu menaati peraturan Ma’had. Ingat kata pak Yai, Ma’had adalah prioritas utama. Toh di sini hanya untuk satu tahun, satu semester lagi kita keluar dari sini.”. Ujar kembali Sosom.



Tanpa ragu Naya mengangkat kembali kepalanya, memandangi Sosom dengan penuh senyum semangat dengan matanya yang sayu, seakan ingin mengucapkan kata-kata yang sulit untuk dilafadzkannya. Hanya sebuah anggukan yang ia isyaratkan untuk menanggapi pernyataan yang diutarakan Sosom.



“Mari kita turun, ngaji kitab kuning akan segera dimulai”. Ujar Naya.



“Ayo.”. Jawab singkat Sosom.



Mereka turun ke bawah untuk mengikuti ngaji bandongan oleh Kyai nya. Begitu banyak ekspresi yang diapresiasikan oleh para santriwati ketika ngaji. Ada yang mendengarkan dengan serius, ada yang ngobrol di belakang, bahkan yang paling parah adalah banyak juga yang mengukir pulau di atas kitab. Hal itu bahkan menjadi hal yang biasa apabila tidak ada tuntutan untuk perubahan.



Malam semakin larut, mata yang enggan lagi menahan kantuk. Perlahan mulai mengatup menutupi bola mata yang masih ingin memotret indahnya malam itu. Dan satu-satunya tempat yang paling nyaman ketika hal itu datang yaitu kasur. Iya, kasur yang diletakkan di atas ranjang susun milik santriwati. Tidur nyenyak ditemani oleh bunga tidur yang indah adalah mimpi dan harap setiap orang yang tidur hingga saatnya mereka terjaga.



Malam itupun larut dalam keheningan kegelapan,  mimpi indah yang mulai tergoyah. Sayup-sayup terdengar melodi panggilan surga yang menggema. Dari balik tembok sini terdengar lembut membangunkan para santriwati untuk kembali menyembahNya, membasahi lidah dengan dzikrullah.



Para santriwati berbondong-bondong menuju rumah Allah untuk menunaikan shalat shubuh. Ketika mata mereka masih membayangkan nikmatnya menarik selimut di fajar yang sungguh dingin menggigit ini, bahkan tak kan menghalangi mereka untuk tetap menjalankan perintahNya. Kegiatan khitobah dan muhadatsah berlangsung sampai mentari pagi tepat berada di ufuk timur, pukul 06.30 am.



Pagi itu kota Atlas masih saja berkabut, walau terik telah menyapa dunia dengan senyumannya. Maklum daerah pegunungan, walau mentari sudah muncul pun tak kan bisa lepas dari kabut yang menghiasi hamparan kota ini. Naya bersiap untuk beraktifitas di kampus kembali. Menuntut ilmu seperti apa yang diamanahkan oleh kedua orang tuanya.



“Naya, Hida. Aku ingin curhat sama kalian.”. Ujar Sita.



“Ada apa sayang?”. Jawab Hida.



“Kalian jangan kaget ya?. Sebelumnya aku minta maaf dengan kalian berdua.”. Sita berkata dengan nada pelan seakan menyimpan sesuatu yang menyedihkan, tak tega untuk mengungkapkannya. Suasana hening tiba-tiba menyapa mereka, sebuah persahabatan tiga sejoli.



“Ada apa sih Sit?, jangan bikin kita penasaran seperti itu dong!”. Kata Naya penasaran.



“Kemungkinan besar semester depan aku sudah nggak di sini lagi say.”. Jawab Sita.



Naya dan Hida terkejut mendengar perkataan temannya, seraya serentak berkata: “Kenapa?.”. Tentu saja mereka kaget mendengar pernyataan itu. Bagaimana tidak?. Walau baru saja enam bulan mereka kenal, namun mereka merasa seperti bersahabat puluhan tahun.



“Pertama, aku tidak yakin dapat menanggung biaya kuliahku. Karena orang tuaku sudah melepasku untuk membiayai kuliah sendiri. Kedua, aku tidak pernah menyentuh yang namanya Madrasah, dan tanpa ada dasar serta bekal langsung masuk perguruan tinggi Islam. Aku shock dengan mata kuliah agama yang diajarkan. Tujuanku di sini untuk belajar serius dalam bidang Kimia, bukan yang lain. Ketika aku mempunyai dua tugas, makul dari Kimia dan makul agama, yang aku dahulukan pasti yang agama. Kalian tahu kenapa?. Karena aku merasa terbebani dengan tugas itu, kawan.”. Ujar Sita.



“Sssst. Jangan bicara seperti itu, kawan. Jadikan ini sebuah motivasi dan pembelajaran. Menuntut ilmu memang butuh perjuangan dan waktu. Tidak ada hal yang instan. InsyaAllah kita akan membantumu jika kita mampu.”. Jawab Naya memotong pikiran Sita untuk keluar dari kuliah.



“Tidak Nay. Keputusanku sudah bulat. Maafkan aku Nay, Hid. Aku tidak akan melupakan kebaikan kalian. Terimakasih telah menemaniku selama satu semester di sini, terimakasih juga telah mengajariku arti sebuah persahabatan.”. Sita mengucap seraya meneteskan air matanya. Dan Naya hanya bisa menunduk, berpikir bagaimana caranya supaya Sita ingin tetap di sini. Tiba-tiba Hida berkata pelan: “Sebenarnya aku juga tidak betah di sini. Dulu aku ingin sekali kuliah di universitas yang sama dengan kakakku. Aku juga berpikiran seperti Sita.”. Seketika itu juga Naya mengangkat kepalanya sejenak mata sayunya melotot ke arah Hida dan Sita. Lalu ia berkata: “Apa kalian tega meninggalkan aku di sini?. Kalian istimewa untukku. Kalian yang menemaniku ketika aku tiada teman yang mau memberikan bahunya untuk sandaranku. Kenapa?.”. Butir-butir mutiara suci perlahan menetes mengikuti lekuk pipi merona Naya. Bagaimana tidak?. Ditinggalkan oleh sahabat sama sakitnya ketika kita ditinggalkan oleh orang yang kita sayangi untuk selamanya.



Hida berkata: “Namun. Bagaimanapun keadaannya aku akan tetap mencoba bertahan di sini. Orang tuaku mengeluarkan jerih payahnya untuk membiayaiku kuliah di sini, dan begitu ringankah aku mempermainkannya?. Aku akan tetap di sini Nay.”.



Naya tersenyum mendengar ucapan Hida. Satu sahabatnya tidak meninggalkannya. Namun Sita tetap pada pendiriannya. Dia berencana meninggalkan kuliahnya dan memilih bekerja untuk sementara yang nantinya akan digunakan untuk mendaftar kuliah di perguruan tinggi umum.



“InsyaAllah nanti aku akan main ke sini menjenguk kalian. Maaf kalau setelah liburan nanti sudah tiada daku diantara kalian. Berjuanglah kawan!!!.”. Ujar Sita. Serambi meneteskan air mata mereka berkata: “Hati-hati kawan!. Do’a kami menyertaimu. Jangan menyerah!, semangat!.”.



Matahari berjalan menuju ufuk barat untuk menggapai sejatinya di sana. Bersembunyi diantara keramaian dunia. Mengintip sejenak sebelum menutup matanya. Senja itu, Naya bermain kata dengan divisi sastra Teater Mimbar. Salah satu temannya bertanya, sebut saja namanya Odil. “Nay, Som. Bentar lagi kan kalian keluar dari Ma’had. Rencananya mau ke mana?. Kost, pesantren, kontrakan atau bagaimana?.”.



“Emangnya kenapa mbak?.”. Naya berbalik bertanya.Odil pun menjawabnya: “Kalau kalian tidak di pesantren nanti kan bisa ikut latihan teater. Soalnya teater pentasnya malam, tidak mungkin kalian bisa ikut kalau kalian masih berada di pesantren.”.



“Kami belum tahu mbak. Sebenarnya kami ingin menyantri lagi, namun di sisi lain kami juga ingin seperti kalian. Kami butuh waktu untuk memikirkan hal itu.”. Sahut Naya.



Libur panjang yang telah dinanti-nantikan akhirnya datang menjemput mereka. Namun berbeda dengan keadaan di Ma’had. Umumnya libur dua bulan, namun di sini hanya dua minggu. Mereka mempunyai agenda Two Weeks Of Training yang menyita hari libur mereka. Setelah agenda itu selesai, paginya langsung disambut oleh kuliah umum kembali. Sungguh menuntut ilmu yang melelahkan. Namun, pada hakikatnya kita tidak boleh menyerah dalam menuntut ilmu, bukan?. Menuntut ilmu bukanlah suatu paksaan, namun sebuah kewajiban. Hal itu yang dirasakan oleh para santriwati Ma’had Walisongo.



Tidak terasa semester dua sudah berjalan setengahnya. Tiba-tiba ada pesan masuk di handphone Naya. “Aku di kampus, mau ketemu nggak?”. Tertera di bawahnya “Dari: Sita”. Naya tertegun, jantungnya berdetak kencang bagai kedua mempelai yang bersanding di kursi raja. Naya bergegas mendatangi tempat Sita berada. Ternyata di sana sudah ada Hida disamping Sita. Sejenak ia berhenti di hadapannya dan terucap dari mulutnya: “Sita.”. Ekspresinya seperti ibu yang telah kehilangan anaknya selama beberapa tahun dan dipertemukan kembali dalam keadaan yang begitu baik. Seraya ia tersenyum dan memeluk Sita seerat mungkin. Hida pun tersenyum melihat kelakuan konyol mereka. Terucap dari mulut Naya: “Kamu benar-benar telah membuktikan kata-katamu dulu, kawan. Terimakasih.”.

 
Blogger Templates