Social Icons

Pages

Monday, 30 June 2014

SIMBOL BERHARGA UNTUKMU, SELEN



SIMBOL BERHARGA UNTUKMU, SELEN


Suara itu masih bergemuruh menggerayangi gendang telingaku. Sejenak ku terpaku dalam keheningan senja yang membeku dan terbesit dalam benakku sosok benalu hati yang masih marajai kalbu ini. Oh, cinta. Tahukah?, mengapa hubungan ini selalu saja ku sebut sebagai ikatan kovalen?. Iya, tentu kau pun bertanya-tanya tentang hal ini. Tersenyumlah!, aku akan menjelaskannya. Sebuah hubungan antara dua insan yang saling membubuhkan hati dengan satu tujuan tuk menuju kestabilan hidup, itulah yang ku maksud. Dua insan itu sama-sama mempunyai kelebihan dan kekurangan, bukan?. Tentu. Ikatan mereka yang kan melengkapi celah-celah tersebut. Begitupun diriku, dirinya yang kan melengkapi celah-celah dalam diriku, anganku.
            Jutaan butir kesejukan ritme hujan benar-benar telah menghidupkan malam ini, walau terkadang banyak jiwa yang mengharapkan ribuan bintang mengintip bumi ketika gulita datang. Namun benak ini tetap setia memandang gagahnya prajurit-prajurit dari langit yang jatuh perlahan ke belahan bumi, karena merekalah yang masih setia menyimpan seribu memoriku bersamanya, bersama kekasihku. Ketika diriku telah hanyut akan indahnya suasana hujan malam itu, tiba-tiba terdengar sayup-sayup suara yang membuat daku penasaran tuk mencari sumbernya. Suara itu pelan dan stabil, namun sepertinya tertahan. Ku dengar suara itu semakin mengeras ketika daun telingaku mendekat dengan alas kepala yang sering kita sebut ‘bantal’ dan terdengar:
            “Kriiiiiiinnggggggggg... kriiiiiiiiiiiiiiinnnnnnnngggggggg...”.
            Ku buka bantal itu yang menutupi suara handphoneku, tertera serangkaian kalimat sederhana yang membuatku bergetar dan tersenyum membacanya, “1 pesan dari Neon”. Sungguh aneh bukan?. Iya, sebenarnya namanya adalah Nino, namun aku lebih suka menyebutnya Neon karena ia selalu memberi pencerahan bagi diriku. Yang membuatku terkejut ketika itu adalah saat membaca isi dari pesan tersebut. Tersurat di dalamnya: “Selen, maafkan aku tak bisa meneruskan hubungan ini. Jika kau ingin tahu apa sebabnya, temui aku di bangku kesetimbangan di taman Titrasi besok pukul 6 pagi”. Namaku Selena, dia sering memanggilku Selen yang merupakan unsur gizi yang sangat dibutuhkan oleh tubuh.
            “Apaaa?”. Teriakku.
            Hati siapa yang tak retak jika kekasih tiba-tiba memutus ikatan yang sedang puncaknya dalam kehangatan cinta?. Butir-butir mutiara suci pun seketika menetes mengikuti lekuk pipiku. Daku pun penasaran mengapa ia berkata demikian, padahal sebelumnya tak pernah seperti itu. Aku mengikuti alur yang ia susun.
            Seperti yang Neon inginkan, pukul 6 pagi yang notabene sang mentari mulai mengintip indahnya dunia aku telah berada di tempat yang ia pilih. Ke kanan ke kiri kepalaku menoleh tak ada seorangpun di sana, hanya secarik kertas yang ku temukan di atas bangku kesetimbangan. Di dalam kertas itu tertuliskan “Iodin” dan di bawahnya “Pohon di belakang bangku”. Apa artinya?, aku pun tak mengerti makna apa yang tersirat dalam kalimat itu. Sepertinya itu adalah kode yang Neon berikan. Aku melihat ada satu pohon yang tertanam di belakang bangku kesetimbangan dan aku pun menghampirinya. Ternyata sama, ada secarik kertas di sana yang bertuliskan “Amerisium” dan di bawahnya “Rerumpunan bunga mawar”. Aku mulai mengerti skenario yang ia susun. Selembar kertas yang tersemat di antara dedurian bunga mawar itu bertuliskan “Neon” yang di bawahnya tertera kata “Sangkar”. Sangkar?, aku tak menemukannya. Tidak mungkin, pasti ada di sekitar taman ini. Aku pun mengelilingi taman Titrasi hingga menemukan satu sangkar burung Beo di dekat air mancur. Aku menemukan selembar kertas di atas tumpukan makanan burung dalam sangkar tersebut dan tertuliskan “Argon” dan keterangan di bawahnya “Mozaik”. Tak ada mozaik dalam taman ini, hanya permainan puzzle yang aku temukan di tengah padang rumput. Apa ini yang ia maksud?, mungkin saja benar pikirku. Tetapi dari kejauhan terlihat ada seseorang di sana yang mengenakan jubah biru muda dan bertopi yang hampir menutupi seluruh wajahnya.
            “Aku takut menghampirinya”. Pikirku dalam hati.
            Aku memberanikan diri tuk mendekati orang tersebut. Dalam jarak sekitar lima langkah ku terhadapnya tiba-tiba ia mengulurkan tangannya yang memegang selembar kertas. Ia berkata: “Mungkin ini yang kau cari, bukan?”.
Seketika ku menghentikan langkah kakiku dan sejenak melotot ke arah lelaki tersebut. Aku mengambil secarik kertas itu dari uluran tangannya dan membacanya. “Uranium”. Hanya kata itu yang aku temukan. Namun apa makna dari kata-kata yang ku temukan dari kertas-kertas itu?, itu semua nama unsur yang terdapat dalam Susunan Berkala Unsur. Lelaki itu membuka jubahnya dan berkata padaku:
“Selen”.
“Neon, apa maksudmu dengan kata-kata ini?, dan mengapa kau inginkan putus dariku?”. Tanyaku pada Neon.
“Selen, sebelum aku menjelaskannya, aku ingin kau menyusun mozaik ini terlebih dahulu”. Kata Neon. Iya, aku mengikuti alur skenarionya. Aku menyusun potongan-potongan mozaik tersebut. Satu hal yang benar-benar membuatku terharu melihatnya, mozaik yang aku susun membentuk tulisan “I LOVE YOU SELEN”.
“Jangan berkomentar Selen, kau pasti akan bertanya tentang nama-nama unsur itu kan?. Sebelum kau menanyakan tentang hal itu aku akan menjelaskannya terlebih dahulu”. Ucap Neon.
“Sebelumnya, apa kau mengerti mengapa aku memilih unsur-unsur itu sebagai pengotor kertas putih itu?”. Tambah Neon.
“Aku tak mengerti Neon”. Ujarku.
“Selen, apa kau teliti memperhatikan dalam memaknai tiap kata itu?. Engkau mahasiswa kimia, apakah tak terpikirkan dalam benakmu tuk menuliskan simbol dari unsur-unsur tersebut?”. Ucapnya.
“Sekali lagi aku tak mengerti Neon”. Tambahku mengulang kalimat yang telah ku ucapkan.
“Aku akan menjelaskannya. Iodin mempunyai simbol I, Amerisium bersimbol Am, Neon adalah Ne, Argon bersimbol Ar dan Uranium adalah kepanjangan dari U. Apa kau mau membantuku tuk menyusunnya?”. Ujar Neon.
“I Am Ne Ar U”. Ejaku.
“Jika kau menambahkan spasi setelah I dan Ar dan kita mengejanya dengan ejaan bahasa Inggris, bagaimana Selen?”. Ucapnya.
“I am near you Neon”. Aku tak menyangka akan menemukan kalimat itu. Neon benar-benar memberikan kejutan padaku. Namun satu hal yang masih belum ku mengerti, mengapa ia meminta putus denganku. Ketika ku ingin menanyakan hal itu ia memotong kataku.
“Jangan bertanya dulu Selen, aku tahu apa yang ingin kau lontarkan. Kau pasti ingin bertanya mengapa aku inginkan putus denganmu, bukan?”. Ujarnya. Aku hanya menganggukkan kepalaku menunggu ia menjawab tanyaku.
“Maafkan aku Selen, sebaiknya kita akhiri hubungan pacaran kita sampai di sini dan mengubahnya menjadi hubungan yang diridhoi Allah. Sebentar lagi kita lulus dan aku tak ingin zina perasaan ini tetap berlanjut menyusun dosa yang lebih besar lagi.” Ujar Neon.
“Maksudmu?”. Aku masih penasaran dengan yang dikatakan Neon.
“Will you marry me?. Selen, kita butuh indikator tuk menunjukkan kapan kita harus berada dalam titik ekuivalen dan berhenti sebelum melebihi kadarnya. Sedangkan impian kita adalah kesetimbangan, maka dari itu aku ingin kau menemuiku di sini”. Ujar Neon.
“Neon, sekarang aku mengerti apa maksudmu. Kita tak seharusnya terus berada dalam zona zina perasaan, setelah kita mampu melaksanakan kewajiban sebagai insan, mengapa kita tak menghalalkannya?. Tapi jika kita belum mampu, kita tak boleh elak dari tanggung jawab yaitu belajar”. Ucapku.
“Benar Selen, lalu bagaimana?”. Ujarnya.
“Aku siap Neon karena setidaknya kita telah mampu mencapai titik ekuivalen dalam titrasi”. Jawabku tersenyum.

Wednesday, 18 June 2014

SENJA YANG MEMBEKU



SENJA YANG MEMBEKU

Aku masih saja membeku,
Bagai batu yang terendam salju beribu tahun lamanya
Hanya dingin yg menusuk sampai ke tulang hasta bahkan ribuan tulang lainnya
Sama sekali bukan kehangatan yang ku rasa,
Namun kenistaan karena dusta
Dusta yg diumbar para manusia
Dengan muka tanpa dosa
Menyisakan duka yang terluka
Namun senja itu masih terdiam, menyaksikanku luruh dalam kehampaan
Mungkin ia ku dengar diam
Tp angin itu menggerayangiku
Kau tahu,
embun hanya sebagai kiasan pagiku bagimu hingga aku lupa mengucap, 

'selamat pagi' untukmu
Tapi aku tak kan lupa mengayuh sampan ini untukmu,
agar lekas sampai ke tepi kehidupan

Bukan, bukan tepi, seberang perih maksudku,
Aku tak terlalu tua utk menjinakkan beban
Tapi bagaimana lagi?
Hujan masih menyimpan anganku
tuk berbaur dengan bahari

Oleh:
Nafi’ Inayana Zaharo
Setyowati
Muhammad In’amul Fatih
Agus Alwi
Top of Form
Bottom of Form

Friday, 13 June 2014

Lomba menulis Love the Reason

http://terbit.org/lomba-menulis-puisi-cerpen-novel-love-the-reason-2014/#sthash.tk0XOcxt.s07i568m.dpbs
 
Blogger Templates