Kecerdasan
kenabian atau yang sering disebut dengan prophetic intelligence merupakan
sebuah potensi atau kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri, memahami dan
mengambil manfaat atau hikmah dari kehidupan langit dan bumi, jasmani dan
ruhani, lahir dan batin serta dunia dan akhirat di mana kinerja kemampuan atau
potensi tersebut senantiasa dalam bimbingan Allah SWT melalui nurani (Hamdani
Bakran Adz- Dzakiey, 2004).
Setiap manusia sebenarnya telah memiliki
kecerdasan kenabian dengan kadar yang berbeda, hanya saja sebagian besar dari
mereka belum pernah menyadari akan hal tersebut. Implementasinya serta
indikasi-indikasi yang dapat memberikan pemahaman secara nyata sehingga kita
dapat melakukan koreksi, evaluasi dan penilaian tentang bagaimana, apa, di mana
dan siapa diri kita saat ini dan di masa mendatang. Setiap orang yang mampu
mengaplikasikan kecerdasan ini dalam kehidupan mereka maka ia dapat mengubah
hambatan menjadi sebuah peluang. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah
SWT dalam Q.S al-Insyirah ayat 5 dan 6:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِيُسْرًا فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya
sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada
kemudahan” (Q.S al-Insyirah 5-6).
Ayat tersebut
menjelaskan bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan setelahnya, itu janji
Allah. Jadi, Allah tidak akan menguji hambaNya melebihi batas kemampuan mereka.
Ayat tersebut diulangi sebanyak dua kali guna memberikan penegasan kepada semua
manusia untuk pantang menyerah dan tetap semangat dalam menghadapi
kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan dunia. Meyakini ajaran Islam
tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga melalui perjalanan afektif dan
empirik. Dengan ilmu ini seseorang dapat membedakan antara yang haq dan bathil,
yang halal dan haram, yang berasal dari setan dan yang berasal dari malaikat,
manusia yang kufur dan yang beriman dan sebagainya.
Islam mengajarkan
manusia untuk menimba ilmu sebanyak mungkin selama masih hidup di dunia
termasuk mengasah kemampuan berpikir atau kecerdasan dalam diri. Pemetaan
paradigma kecerdasan ada tiga yaitu IQ, EQ dan SQ. Paradigma kecerdasan yang
sedang marak-maraknya menjadi diskursus publik masih didominasi oleh temuan
terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (Emotional
Quotient) . Kajian intensif, paket diskusi, seminar bahkan pendidikan dan
pelatihan-pelatihan besar diselenggarakan hanya sekedar untuk menegaskan bahwa
kecerdasan emosional (EQ) sama ampuhnya bahkan terkadang lebih ampuh dari IQ (Intelectual
Quotient). Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak
dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang
yang ber-IQ tinggi seringkali gagal dan orang yang ber-IQ sedang menjadi
sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas.
Cara ini disebut dengan “kecerdasan emosional”. Namun, selain IQ dan EQ
terdapat SQ (Spiritual Quotient) yang dipandang sebagai kecerdasan
tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi kecerdasan
intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan kecerdasan spiritual
(SQ), kita diharapkan menjadi propotip manusia yang utuh atau sempurna (insan
kamil) dan holistik, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ) dan sekaligus
secara spiritual (SQ) (Sukidi, 2002)
Kecerdasan tentu saja
erat kaitannya dengan kenabian. Nabi Muhammad SAW merupakan cermin insan
kamil (manusia yang sempurna) yang memiliki semua jenis kecerdasan manusia
yang disebut dengan multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Bukan
hanya fisiknya yang sempurna (termasuk ketampanannya), namun juga intelligence
(kecerdasan) beliau sungguhlah sempurna. Bahkan sifat-sifat beliau yang mulia
tidaklah dimiliki oleh setiap manusia terutama kita sebagai manusia biasa. Dari
sini kita dapat mengasah kecerdasan (kenabian) yang sebenarnya telah kita
miliki sebelumnya. Dengan mengimplementasikan kecerdasan kenabian dalam
kehidupan kita, selayaknya kita dapat mencapai tingkatan manusia modern yaitu
tidak tertinggalnya berbagai kemampuan dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi) beserta IMTAQ (Iman dan Taqwa). Dua hal tersebut harus dikorelasikan
secara sempurna untuk mencapai hal yang kita cita-citakan yaitu menjadi insan
kamil (manusia yang sempurna).
Menurut Deliar Noor,
manusia modern yang dimaksud di sini merupakan manusia yang selalu memandang ke
depan dan bukan memandang ke belakang, memiliki sikap dinamis dan aktif bukan
sikap “menunggu”, memperhatikan waktu, memberikan penekanan pada rasionalitas
dan bukan pada perasaan atau perkiraan, mengembangkan sikap terbuka terhadap
berbagai pemikiran dan produk yang memiliki signifikansi ilmiah, memberikan
prioritas terhadap prestasi personal dan bukan status yang diperoleh,
memberikan perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapi saat
ini yang sifatnya lebih konkrit (nyata) dan lebih bersifat keduniaan, serta
melibatkan diri dalam pengejaran tujuan yang lebih penting dari tujuan
kelompok.
Istilah modernisasi di
Indonesia sering kali disebut dengan “pembangunan” atau “revolusi”. Penggunaan
jargon modernisasi oleh beberapa kalangan dinilai sebagai pengadopsian ide
westernisasi dan sekularisasi. Oleh karena itu, istilah modernisasi yang
dipropagandakan sejak masa Orde Baru diganti dengan istilah “pembangunan” dan
secara bertahap umat Islam lebih dapat menerimanya, meskipun sebenarnya secara
subtansial tidak berbeda. Sementara kalangan lain yang disebut dengan kalangan
modernis memberikan respon positif terhadap proses modernisasi (pembangunan) di
Indonesia.
No comments:
Post a Comment