Social Icons

Pages

Saturday, 29 July 2017

IMPLEMENTASI KECERDASAN KENABIAN MENUJU INSAN KAMIL BERWAWASAN MODERN




            Kecerdasan kenabian atau yang sering disebut dengan prophetic intelligence merupakan sebuah potensi atau kemampuan berinteraksi, menyesuaikan diri, memahami dan mengambil manfaat atau hikmah dari kehidupan langit dan bumi, jasmani dan ruhani, lahir dan batin serta dunia dan akhirat di mana kinerja kemampuan atau potensi tersebut senantiasa dalam bimbingan Allah SWT melalui nurani (Hamdani Bakran Adz- Dzakiey, 2004).
Setiap manusia sebenarnya telah memiliki kecerdasan kenabian dengan kadar yang berbeda, hanya saja sebagian besar dari mereka belum pernah menyadari akan hal tersebut. Implementasinya serta indikasi-indikasi yang dapat memberikan pemahaman secara nyata sehingga kita dapat melakukan koreksi, evaluasi dan penilaian tentang bagaimana, apa, di mana dan siapa diri kita saat ini dan di masa mendatang. Setiap orang yang mampu mengaplikasikan kecerdasan ini dalam kehidupan mereka maka ia dapat mengubah hambatan menjadi sebuah peluang. Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allah SWT dalam Q.S al-Insyirah ayat 5 dan 6:
إِنَّ مَعَ الْعُسْرِيُسْرًا فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan” (Q.S al-Insyirah 5-6).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa setiap kesulitan pasti ada kemudahan setelahnya, itu janji Allah. Jadi, Allah tidak akan menguji hambaNya melebihi batas kemampuan mereka. Ayat tersebut diulangi sebanyak dua kali guna memberikan penegasan kepada semua manusia untuk pantang menyerah dan tetap semangat dalam menghadapi kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan dunia. Meyakini ajaran Islam tidak hanya bersifat teoritik tetapi juga melalui perjalanan afektif dan empirik. Dengan ilmu ini seseorang dapat membedakan antara yang haq dan bathil, yang halal dan haram, yang berasal dari setan dan yang berasal dari malaikat, manusia yang kufur dan yang beriman dan sebagainya.
Islam mengajarkan manusia untuk menimba ilmu sebanyak mungkin selama masih hidup di dunia termasuk mengasah kemampuan berpikir atau kecerdasan dalam diri. Pemetaan paradigma kecerdasan ada tiga yaitu IQ, EQ dan SQ. Paradigma kecerdasan yang sedang marak-maraknya menjadi diskursus publik masih didominasi oleh temuan terbaru Daniel Goleman tentang Emotional Intelligence (Emotional Quotient) . Kajian intensif, paket diskusi, seminar bahkan pendidikan dan pelatihan-pelatihan besar diselenggarakan hanya sekedar untuk menegaskan bahwa kecerdasan emosional (EQ) sama ampuhnya bahkan terkadang lebih ampuh dari IQ (Intelectual Quotient). Dengan memanfaatkan penelitian yang menggemparkan tentang otak dan perilaku, Goleman memperlihatkan faktor-faktor yang terkait mengapa orang yang ber-IQ tinggi seringkali gagal dan orang yang ber-IQ sedang menjadi sukses. Faktor-faktor ini mengacu pada suatu cara lain untuk menjadi cerdas. Cara ini disebut dengan “kecerdasan emosional”. Namun, selain IQ dan EQ terdapat SQ (Spiritual Quotient) yang dipandang sebagai kecerdasan tertinggi manusia, yang dengan sendirinya melampaui segi-segi kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ). Dengan kecerdasan spiritual (SQ), kita diharapkan menjadi propotip manusia yang utuh atau sempurna (insan kamil) dan holistik, baik secara intelektual (IQ), emosional (EQ) dan sekaligus secara spiritual (SQ) (Sukidi, 2002)
Kecerdasan tentu saja erat kaitannya dengan kenabian. Nabi Muhammad SAW merupakan cermin insan kamil (manusia yang sempurna) yang memiliki semua jenis kecerdasan manusia yang disebut dengan multiple intelligence (kecerdasan majemuk). Bukan hanya fisiknya yang sempurna (termasuk ketampanannya), namun juga intelligence (kecerdasan) beliau sungguhlah sempurna. Bahkan sifat-sifat beliau yang mulia tidaklah dimiliki oleh setiap manusia terutama kita sebagai manusia biasa. Dari sini kita dapat mengasah kecerdasan (kenabian) yang sebenarnya telah kita miliki sebelumnya. Dengan mengimplementasikan kecerdasan kenabian dalam kehidupan kita, selayaknya kita dapat mencapai tingkatan manusia modern yaitu tidak tertinggalnya berbagai kemampuan dalam IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi) beserta IMTAQ (Iman dan Taqwa). Dua hal tersebut harus dikorelasikan secara sempurna untuk mencapai hal yang kita cita-citakan yaitu menjadi insan kamil (manusia yang sempurna).
Menurut Deliar Noor, manusia modern yang dimaksud di sini merupakan manusia yang selalu memandang ke depan dan bukan memandang ke belakang, memiliki sikap dinamis dan aktif bukan sikap “menunggu”, memperhatikan waktu, memberikan penekanan pada rasionalitas dan bukan pada perasaan atau perkiraan, mengembangkan sikap terbuka terhadap berbagai pemikiran dan produk yang memiliki signifikansi ilmiah, memberikan prioritas terhadap prestasi personal dan bukan status yang diperoleh, memberikan perhatian yang lebih besar terhadap permasalahan yang dihadapi saat ini yang sifatnya lebih konkrit (nyata) dan lebih bersifat keduniaan, serta melibatkan diri dalam pengejaran tujuan yang lebih penting dari tujuan kelompok.
Istilah modernisasi di Indonesia sering kali disebut dengan “pembangunan” atau “revolusi”. Penggunaan jargon modernisasi oleh beberapa kalangan dinilai sebagai pengadopsian ide westernisasi dan sekularisasi. Oleh karena itu, istilah modernisasi yang dipropagandakan sejak masa Orde Baru diganti dengan istilah “pembangunan” dan secara bertahap umat Islam lebih dapat menerimanya, meskipun sebenarnya secara subtansial tidak berbeda. Sementara kalangan lain yang disebut dengan kalangan modernis memberikan respon positif terhadap proses modernisasi (pembangunan) di Indonesia.

No comments:

 
Blogger Templates