Social Icons

Pages

Monday, 26 October 2015

Air Mata Arini



“Air Mata Arini”
Nafi’ Inayana Zaharo

Dua potong kain berwarna merah ukuran 20 cm dan 30 cm menutupi sebagian dari tubuh Arini. Ia bersandar di bahu seorang lelaki berkulit putih tinggi besar, agak mancung hidungnya.
“How many hours which you want Mr. Smith?”. Ucap Arini. Lelaki bule itu mencumbunya dengan manja dan berkata:
“Up to you Arini, I’ll always stand by for you this night. Don’t take too long, please. Came on!”. Ia sudah tak sabar lagi untuk menikmati tubuh Arini. Arini memang dikenal sebagai wanita tercantik dan termuda di club malam itu, tak heran jika yang mengincarnya adalah lelaki- lelaki hidung belang yang berdompet tebal termasuk para bule.
            Dinginnya malam itu memang sungguh mencekat, menggugah hasrat para lelaki hidung belang untuk mencari kehangatan di dunia malam. Club malam yang terkenal di kota ini jadi sasaran birahi mereka, dan para kupu- kupu malam yang manja jadi jamuan mereka malam itu.
            Tiga tahun sudah, Arini melepaskan keperawanannya demi kelanjutan hidupnya. Ia hidup sebatang kara semenjak seluruh keluarganya meninggal akibat kebakaran rumahnya kala itu. Kini ia pun masih berkelana mencari siapa penjahat bejat yang berani merenggut sukma keluarganya. Waktu itu, tanah rumahnya telah rata dengan material hangus dan garis hitam kuning melingkar ketika ia baru pulang dari pertukaran pelajar di Singapura. Arini merupakan pelajar terbaik di sekolahnya. Namun entah mengapa ia bisa terjerumus di lubang kemaksiatan itu. Mungkin mata hatinya telah tertutup oleh rasa dendam terhadap pembunuh keluarganya.
            Arini semakin lelah dengan kehidupan malamnya yang tak menjanjikan apapun. Setiap di persimpangan malam, linangan air mata selalu menemaninya. Ia selalu berharap masa lalunya akan kembali. Itu mustahil, sebab waktu tak bisa berputar tapi terus berjalan ke depan. Ia cerdas namun merasa bodoh, ia hidup namun merasa mati. Hingga suatu malam mencegahnya untuk datang ke club tempat ia bekerja. Entah mengapa, ia ingin meluapkan semua pekiknya malam itu.
            Di persimpangan jalan yang sepi, tempat di mana puing-puing rumahnya telah hangus bersama kenangan, Arini menghentikan langkahnya. Ditekuk lututnya lalu duduk bersandar di batang pohon sisa kebakaran tiga tahun silam. Jari- jari mungilnya mengetuk-ngetuk tanah mengusik binatang-binatang kecil yang sedang bercumbu dengan keluarga mereka. Meneteskan butir-butir mutiara suci, jatuh di antara rumput-rumput yang sedang bertasbih. Jeritannya menggugah pohon yang ia sandari untuk bertanya, mengapa ia pekik di malam yang syahdu ini?.
            Arini masih mencari huruf-huruf yang tepat untuk menyusun kalimat yang mampu menyampaikan pekiknya pada sang pohon. Hembusan angin malam itu membuat tubuhnya bergetar, menahan hawa dingin yang mencekat jasadnya. Beberapa daun gugur, sang pohon yang menyuruh mereka untuk menjadi selimut Arini. Arini tersenyum kecil, namun senyum manis itu kembali pudar. Arini mulai menemukan suratnya.
“Apakah mungkin, wanita sehina aku ini akan menemukan kebahagiaan sejati?, jika iya di manakah letak kebahagiaan itu? Supaya aku dapat menghampiri lalu menjemputnya untuk menemani kegaduhanku yang begitu sepi”. Ujar Arini. Ya, dengan mata hati ia mampu mendengar sang pohon berbicara.
“Setiap manusia lahir membawa bahagia. Jika bahagia itu terpenggal, maka kau bisa menemukannya kembali, di singgahsana hatimu”. Ucap sang pohon.
“Di hatiku? Sekian lama aku mencari kebahagiaan itu, namun apa daya, penjahat bejat itu membakar habis bahagiaku. Andai aku bisa bertemu dengannya, akan ku biarkan ia membusuk bersama sepi, seperti yang ku rasakan saat ini”. Dengan geram Arini mencabut rumput di dekat kakinya.
“Sudahlah Arini, jangan kau sesali. Yakinlah Tuhan menjanjikan terang setelah gelap mencekam. Kau hanya…”, ucap sang pohon dipenggal kata Arini,
“Hanya apa?, hanya butuh sabar?, hanya butuh diam tak berbenah?. Aku lelah, sungguh lelah. Mengapa kepekikan ini tak kunjung usang. Mungkin binatang- binatang kecil itu sedang menertawakanku bersama keluarganya, aku yang menjadi bahan tertawaan dalam rumah mereka”. Emosinya semakin memuncak. Arini kembali menjerit.
            Beberapa saat malam semakin hening, tak berani menyuarakan risalahnya di antara kepekikan Arini. Arini kembali berbicara:
“Pohon, izinkan aku selalu bersandar di tubuhmu. Meluapkan pekikku sampai pagi datang, sampai aku temukan di mana letak bahagiaku. Temani malamku, sepiku dan selimuti aku. Aku mohon, gandeng aku agar tak terpeleset jatuh ke lubang kemaksiatan seperti ku jalani malam-malamku sebelumnya. Bangunkan aku dari tidur yang tak guna. Larungkan dendamku, agar ku temukan bahagia yang pernah kau ucapkan”. Cairan merah kental mengucur di tubuhnya, syaraf-syarafnya mulai berhenti bekerja. Jasadnya melemas, matanya terpejam perlahan. Kini, Arini telah menemukan bahagianya.

Semarang, 26 Oktober 2015

LILIN PENGHIDUPAN



LILIN PENGHIDUPAN
Nafi’ Inayana Zaharo


Lilin-lilinku masih setia dengan sumbunya
Putih tegak, berjajar sedulur papat
Mereka berdiri di antara gelap yang mencekat
Bercumbu dengan malam yang menjanjikan syahdu
Paripurna dengan hempasan angin yang mondar mandir
Mencari celah di ruang terbuka itu
Dari ujung penglihatan sana
Seberkas cahaya merah kekuningan
Tampak berjalan mendekati lilin-lilin penghidupanku
Ya, aku memang sedang menunggu berkas cahaya itu
Sebab lilin-lilin penghidupanku telah dingin diambil alih malam
Mendekatlah! Ayo.. terus melangkah ke sini
Oh tunggu.. hati-hati
Nanti berkas cahaya itu hilang ditelan angin
Ku kira ia sedang rakus malam ini
Dalam langkahmu, tinggalkanlah jejak yang pasti
Agar aku bisa mencarimu esok atau lusa
Untuk menghidupkan kembali malamku
Ya.. tinggal beberapa langkah lagi
Cepat ciumlah sumbu-sumbu ini
Agar mereka memberiku benderang
Meski mereka akan meleleh nantinya
Tak apa, malam akan cepat berganti pagi
Satu, dua, tiga, empat
Lilin- lilin penghidupanku
Aku merasa ada ketika kau datang mencumbukan apimu pada lilin- lilinku
Padahal, cekatnya malam telah mengambil alih hidupku
Tidak, kini binatang-binatang kecil
Semak- semak yang bergoyang
Pohon- pohon yang berirama
Akan dapat melihat senyumku kembali
Sebab, kegelapan telah kau sirnakan
Dengan lilin- lilin penghidupan

Semarang, 26 Oktober 2015

FATAMORGANA



FATAMORGANA


Dari luar sana terdengar sayup ketukan pintu, diiringi suara yang memanggil-manggil namaku. “Oh, suamiku”. Kataku dalam setengah sadar. Seketika itu aku langsung turun dari ranjang tempatku meluruskan tubuh, kala itu pagi masih temaram. Langkahku terhenti di belakang pintu. Kunci yang menempel di selembar kayu itu ku putar dua kali, lalu ku tarik ke dalam. Mata-mata ini sebenarnya belum rela membuka lebar kelopaknya, masih remang-remang. Aku bersandar di kusen tempat melekatkan pintu kayu. Lalu, “emmuuuacch”, bibirnya menempel di bibirku yang masih kering sebab cepatnya metabolisme tubuh. Terasa benar kasih sayang yang ada dalam ciuman itu. Setelah lepas, tiba-tiba aku terbangun.
“Oh my God”. Aku tersentak. Jantung ini masih berdetak kencang, sementara aku netralkan dulu napas yang tersendat.
“Ya Tuhan, ternyata hanya mimpi. Mengapa kasih sayang itu ku rasa begitu nyata?, apakah aku yang terlalu mencintai dia?, ataukah ini sebuah firasat baik atau buruk untuk kami?”. Ucapku dalam pagi yang benar-benar nyata, bukan lagi mimpi.
Sebelum itu, aku mencintai seseorang, ku panggil ia Shahdan. Kita pernah saling menyambung rasa empat tahun lalu. Tiada dusta di antara kami. Tapi prinsip yang berbeda memisahkan kami, hingga ia menemukan pengganti yang jauh lebih baik dari diriku. Selama itu, aku belum bisa menghapus namanya dari kalbu ini, hingga aku menemukan seseorang yang sedikit bisa mengobati luka menganga dalam kalbu ini. Namun hanya sekejap saja, ia malah menggoreskan luka lebih dalam. Aku seakan mati rasa, terkadang berfikir untuk tidak ingin merasakan segumpal rasa merah hati itu. Ya, di tengah pengorbananku untuk melupakan Shahdan, Ozien datang. Aku pun tak begitu mengerti mengapa aku bisa terbawa arus olehnya. Semenjak itu, rasaku ke Shahdan semakin terkikis. Padahal rasaku padanya begitu besar, tidak mudah tergoyah. Apakah Ozien lebih baik daripadanya?, sehingga dapat meluluhkan hatiku yang telah membatu oleh sihir Shahdan.
Ozien hanyalah bayang semu di antara sinar rembulan di malam hari. Saat gelap mencekat ia tak terlihat, saat terang benderang ia semakin jelas. Entahlah, mungkin esok yang kan menjawabnya dan aku masih menunggu pagi. Memang sulit, mencintai dua orang dengan prosentase yang sama. Apalagi keduanya kasih tak sampai. Bagai tertumbuk biduk dibelokkan ke batu karang, tidak bisa memilih keduanya.
Semarang, 25 Oktober 2015
 
Blogger Templates