“Air Mata Arini”
Nafi’ Inayana Zaharo
Dua
potong kain berwarna merah ukuran 20 cm dan 30 cm menutupi sebagian dari tubuh
Arini. Ia bersandar di bahu seorang lelaki berkulit putih tinggi besar, agak
mancung hidungnya.
“How
many hours which you want Mr. Smith?”. Ucap Arini. Lelaki bule itu mencumbunya
dengan manja dan berkata:
“Up
to you Arini, I’ll always stand by for you this night. Don’t take too long,
please. Came on!”. Ia sudah tak sabar lagi untuk menikmati tubuh Arini. Arini
memang dikenal sebagai wanita tercantik dan termuda di club malam itu, tak
heran jika yang mengincarnya adalah lelaki- lelaki hidung belang yang berdompet
tebal termasuk para bule.
Dinginnya malam itu memang sungguh
mencekat, menggugah hasrat para lelaki hidung belang untuk mencari kehangatan
di dunia malam. Club malam yang terkenal di kota ini jadi sasaran birahi
mereka, dan para kupu- kupu malam yang manja jadi jamuan mereka malam itu.
Tiga tahun sudah, Arini melepaskan
keperawanannya demi kelanjutan hidupnya. Ia hidup sebatang kara semenjak
seluruh keluarganya meninggal akibat kebakaran rumahnya kala itu. Kini ia pun
masih berkelana mencari siapa penjahat bejat yang berani merenggut sukma
keluarganya. Waktu itu, tanah rumahnya telah rata dengan material hangus dan
garis hitam kuning melingkar ketika ia baru pulang dari pertukaran pelajar di
Singapura. Arini merupakan pelajar terbaik di sekolahnya. Namun entah mengapa
ia bisa terjerumus di lubang kemaksiatan itu. Mungkin mata hatinya telah
tertutup oleh rasa dendam terhadap pembunuh keluarganya.
Arini semakin lelah dengan kehidupan
malamnya yang tak menjanjikan apapun. Setiap di persimpangan malam, linangan
air mata selalu menemaninya. Ia selalu berharap masa lalunya akan kembali. Itu
mustahil, sebab waktu tak bisa berputar tapi terus berjalan ke depan. Ia cerdas
namun merasa bodoh, ia hidup namun merasa mati. Hingga suatu malam mencegahnya
untuk datang ke club tempat ia bekerja. Entah mengapa, ia ingin meluapkan semua
pekiknya malam itu.
Di persimpangan jalan yang sepi,
tempat di mana puing-puing rumahnya telah hangus bersama kenangan, Arini
menghentikan langkahnya. Ditekuk lututnya lalu duduk bersandar di batang pohon
sisa kebakaran tiga tahun silam. Jari- jari mungilnya mengetuk-ngetuk tanah
mengusik binatang-binatang kecil yang sedang bercumbu dengan keluarga mereka.
Meneteskan butir-butir mutiara suci, jatuh di antara rumput-rumput yang sedang
bertasbih. Jeritannya menggugah pohon yang ia sandari untuk bertanya, mengapa
ia pekik di malam yang syahdu ini?.
Arini masih mencari huruf-huruf yang
tepat untuk menyusun kalimat yang mampu menyampaikan pekiknya pada sang pohon.
Hembusan angin malam itu membuat tubuhnya bergetar, menahan hawa dingin yang
mencekat jasadnya. Beberapa daun gugur, sang pohon yang menyuruh mereka untuk
menjadi selimut Arini. Arini tersenyum kecil, namun senyum manis itu kembali
pudar. Arini mulai menemukan suratnya.
“Apakah
mungkin, wanita sehina aku ini akan menemukan kebahagiaan sejati?, jika iya di
manakah letak kebahagiaan itu? Supaya aku dapat menghampiri lalu menjemputnya
untuk menemani kegaduhanku yang begitu sepi”. Ujar Arini. Ya, dengan mata hati
ia mampu mendengar sang pohon berbicara.
“Setiap
manusia lahir membawa bahagia. Jika bahagia itu terpenggal, maka kau bisa
menemukannya kembali, di singgahsana hatimu”. Ucap sang pohon.
“Di
hatiku? Sekian lama aku mencari kebahagiaan itu, namun apa daya, penjahat bejat
itu membakar habis bahagiaku. Andai aku bisa bertemu dengannya, akan ku biarkan
ia membusuk bersama sepi, seperti yang ku rasakan saat ini”. Dengan geram Arini
mencabut rumput di dekat kakinya.
“Sudahlah
Arini, jangan kau sesali. Yakinlah Tuhan menjanjikan terang setelah gelap
mencekam. Kau hanya…”, ucap sang pohon dipenggal kata Arini,
“Hanya
apa?, hanya butuh sabar?, hanya butuh diam tak berbenah?. Aku lelah, sungguh
lelah. Mengapa kepekikan ini tak kunjung usang. Mungkin binatang- binatang
kecil itu sedang menertawakanku bersama keluarganya, aku yang menjadi bahan
tertawaan dalam rumah mereka”. Emosinya semakin memuncak. Arini kembali menjerit.
Beberapa saat malam semakin hening, tak
berani menyuarakan risalahnya di antara kepekikan Arini. Arini kembali
berbicara:
“Pohon,
izinkan aku selalu bersandar di tubuhmu. Meluapkan pekikku sampai pagi datang,
sampai aku temukan di mana letak bahagiaku. Temani malamku, sepiku dan selimuti
aku. Aku mohon, gandeng aku agar tak terpeleset jatuh ke lubang kemaksiatan
seperti ku jalani malam-malamku sebelumnya. Bangunkan aku dari tidur yang tak
guna. Larungkan dendamku, agar ku temukan bahagia yang pernah kau ucapkan”.
Cairan merah kental mengucur di tubuhnya, syaraf-syarafnya mulai berhenti
bekerja. Jasadnya melemas, matanya terpejam perlahan. Kini, Arini telah
menemukan bahagianya.
Semarang, 26 Oktober 2015