FATAMORGANA
Dari
luar sana terdengar sayup ketukan pintu, diiringi suara yang memanggil-manggil
namaku. “Oh, suamiku”. Kataku dalam setengah sadar. Seketika itu aku langsung
turun dari ranjang tempatku meluruskan tubuh, kala itu pagi masih temaram.
Langkahku terhenti di belakang pintu. Kunci yang menempel di selembar kayu itu
ku putar dua kali, lalu ku tarik ke dalam. Mata-mata ini sebenarnya belum rela
membuka lebar kelopaknya, masih remang-remang. Aku bersandar di kusen tempat
melekatkan pintu kayu. Lalu, “emmuuuacch”, bibirnya menempel di bibirku yang
masih kering sebab cepatnya metabolisme tubuh. Terasa benar kasih sayang yang
ada dalam ciuman itu. Setelah lepas, tiba-tiba aku terbangun.
“Oh
my God”. Aku tersentak. Jantung ini masih berdetak kencang, sementara aku
netralkan dulu napas yang tersendat.
“Ya
Tuhan, ternyata hanya mimpi. Mengapa kasih sayang itu ku rasa begitu nyata?,
apakah aku yang terlalu mencintai dia?, ataukah ini sebuah firasat baik atau
buruk untuk kami?”. Ucapku dalam pagi yang benar-benar nyata, bukan lagi mimpi.
Sebelum
itu, aku mencintai seseorang, ku panggil ia Shahdan. Kita pernah saling
menyambung rasa empat tahun lalu. Tiada dusta di antara kami. Tapi prinsip yang
berbeda memisahkan kami, hingga ia menemukan pengganti yang jauh lebih baik
dari diriku. Selama itu, aku belum bisa menghapus namanya dari kalbu ini,
hingga aku menemukan seseorang yang sedikit bisa mengobati luka menganga dalam
kalbu ini. Namun hanya sekejap saja, ia malah menggoreskan luka lebih dalam.
Aku seakan mati rasa, terkadang berfikir untuk tidak ingin merasakan segumpal
rasa merah hati itu. Ya, di tengah pengorbananku untuk melupakan Shahdan, Ozien
datang. Aku pun tak begitu mengerti mengapa aku bisa terbawa arus olehnya.
Semenjak itu, rasaku ke Shahdan semakin terkikis. Padahal rasaku padanya begitu
besar, tidak mudah tergoyah. Apakah Ozien lebih baik daripadanya?, sehingga
dapat meluluhkan hatiku yang telah membatu oleh sihir Shahdan.
Ozien
hanyalah bayang semu di antara sinar rembulan di malam hari. Saat gelap
mencekat ia tak terlihat, saat terang benderang ia semakin jelas. Entahlah,
mungkin esok yang kan menjawabnya dan aku masih menunggu pagi. Memang sulit,
mencintai dua orang dengan prosentase yang sama. Apalagi keduanya kasih tak
sampai. Bagai tertumbuk biduk dibelokkan ke batu karang, tidak bisa memilih
keduanya.
Semarang, 25 Oktober 2015
No comments:
Post a Comment