Komandan
dan Boneka
Mulutmu berbuah kata-kata yang intelegensi
Menakjubkan jika menyentuh gendang telinga
Menentramkan jika berhenti di gumpalan darah yang kami
sebut hati
Sungguh prolog yang sempurna
Kau bilang kau gila akan dialektika dini
Tapi ternyata itu hanyalah simbol,
Simbol dari kegilaanmu akan status sosial sahaja
Andai kau tahu
Kini semua telah memahami alur ceritamu
Dan mereka tertawa, bukan tertawa senang rupanya
Tapi tertawa kerana kasian
Bagaimana tidak?
Dalam sinopsismu, jasadmu adalah menara tertinggi di
kaki langit
Namun dalam cerita, kau hanya semut kecil yang
bermimpi tinggimu kan jauh di atas gajah
Kau hanya bertumpu pada angan semu
Membanggakan yang seharusnya tak dibanggakan
Dalam film, kau hanya tokoh figuran
Yang numpang lewat di depan kamera
Bahkan terkadang hanya rambutmu saja yang nampak
Hanya saja kau sedang beruntung
Memiliki wajah yang mungkin sutradara sulit
menemukannya
Bukan skillmu, yang terlihat biasa-biasa saja
Haha… Sungguh ironisnya dirimu
Kau ingin dihargai
Tapi hargamu saja tak cukup untuk membeli sesuap
nasi
Lalu, bagaimana cara kami hormat?
Tangan kami pun abstrak di kedua bola matamu
Mana mungkin kami terlihat hormat?
Kami tahu, di binar matamu pasti kami terlihat siap
Tapi tak kan melangkahkan kaki jika kau tak berkata
“Majuu… Jalan!!”
Sebab kau adalah komandan
Dan kami hanyalah boneka
Semarang, 01
September 2015 00:32 AM
Oleh: En Azura
(Nafi’ Inayana Zaharo)
No comments:
Post a Comment